Ramai komentar yang menyebutkan bahwa apa yang menjadi pernyataan Rocky Gerung beberapa hari yang lalu, tak lain hanya ucapan yang kasar dan tak bermoral. Apalagi pernyataannya yang bernada provokatif untuk mengajak masyarakat agar pada tangga 10 agustus 2023 nanti sebagai momentum terhadap aksi protes atas kebijakan pemerintah yang disebutnya Presiden Jokowi akan menjual IKN ke China. Hal ini mendatangkan kemarahan publik yang luar biasa, termasuk membangkitkan kemarahan masyarakat kalimantan timur dan sekitarnya. Sosok Jokowi yang sering diam ketika difitnah, dihujat bahkan dicaci maki sekalipun, tentu saja bagian tersendiri yang menjadi pengamatan masyarakat atas dirinya. Walau dibalik itu, pernyataan dari Cak Nun yang pernah menyebutnya sebagai Fir’aun, toh nyatanya dibalas beliau dengan tetap menyempatkan diri untuk menjenguk Cak Nun dari kondisi sakit nya yang hingga kini belum pulih.
Apalagi tingkat kepuasan publik saat ini mencapai 82% berdasarkan survey LSI pada bulan mei 2023 ini. Tentu saja menjadi indikasi bahwa rakyat sepenuhnya mendukung Jokowi sekaligus melindungi kekuasaan dan kepemimpinannya dari tangan-tangan komprador lain yang mencoba mengusiknya. Termasuk dari tangan-tangan agamawan yang sengaja menerapkan politik identitas yang saat ini banyak ditentang publik, termasuk dari kalangan NU dan Muhammadiyah, bahkan pada pernyataan ketua umum pemuda muhammadiyah Sdr Dzulfikar Ahmad Tawalla yang menyiratkan dukungannya terhadap pencalonan Ganjar Pranowo pun nyata-nyata ikut pula melindungi legacy Jokowi hingga berakhirnya masa jabatan yang akan selesai pada tahun 2024 tahun depan. Bahkan secara khusus beliau menitip beratkan agar estafet kelanjutan pembangunan sebagai amanat yang harus diteruskan dari apa yang telah dibagun Jokowi sejak 2014 silam.
Namun, jika kita kembali menelaah segi kemanfaatan agama dalam konteks kehidupan bernegara, maka terdapat banyak hal yang mempengaruhi kehidupan masyarakat saat ini terhadap berbagai aspek, bukan hanya dalam aspek kerohanian saja, namun agama merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta yang terdiri atas “A” dan “gama”, dimana kata “A” dalam memiliki arti “tidak”, sedangkan “gama” yang berarti “kacau”. Maka pengertian agama dalam bahasa sansekerta adalah tidak kacau, jadi maksud dari tujuan beragama itu adalah pengaturan hidup yang dilakukan oleh manusia demi menata hidupnya agar tidak mengalami kekacauan. Dari kata Agama sebagaimana yang dimaksudkan agar manusia tidak kacau diatas, maka agama itu mempunyai maksud untuk menjadikan siapapun yang beragama agar memiliki tatanan kehidupan dengan segenap aturan dan tuntunan yang berasal dari Tuhan, dimana petunjuk dari agama itu nantinya mampu membimbing manusia menjadi seseorang yang berakal Budi dan berusaha mencari kebahagiaan hidup baik di dunia ataupun di akhirat kelak.
Agama biasanya selalu dikaitkan dengan kebudayaan. Padahal agama dan kebudayaan mempunyai tempatnya sendiri sendiri. Meskipun agama dan kebudayaan merupakan suatu hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan, namun keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Bahwa agama sesungguhnya menjadi pedoman hidup manusia yang diwahyukan oleh Tuhan guna menjalani hidupnya. Sedangkan kebudayaan adalah sebagai kebiasaan atau tata cara hidup manusia yang berasal dari hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia, walau kemampuan itu datangnya dari Tuhan sendiri pula. Perilaku sosial manusia yang beragama merupakan salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi manusia dalam segi bathiniah datang dari kemampuannya atas berbagai macam naluri. Naluri baik manusia sebagai makhluk sosial itulah yang disebut fitrah, dan naluri jahat merupakan naluri pengingkaran yang bersifat negatif.
Sifat negatif yang dimiliki manusia bisa mengarahkannya menjadi orang yang serakah, yang merupakan suatu keadaan jiwa dari sifat yang acap kali tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan berusaha ingin memiliki lebih banyak lagi. Keserakahan ini tidak hanya pada kepemilikan harta, namun juga pada jabatan atau hal-hal lainnya. Maka untuk melancarkan aksinya, manusia akan melancarkan aksinya untuk saling mencurigai dan acap kali menuduh orang lain atau pihak manapun yang sekiranya telah melakukan kecurangan atas berbagai tuduhannya. Bahwa tuduhan dan kecurigaan yang berlebihan itu sering terjadi dalam hal-hal perebutan kekuasaan atau dalam hal-hal politik yang selalu mengatasnamakan demokrasi dimana kritik terhadap sesuatu itu muncul akibat dari bagian atas kebebasan berpendapat serta jargon human right issue yang didengungkannya. Namun jika kita simak lebih dalam, dimana para pengkritik yang dengan sengaja menyeret agama kedalam pusaran politik itu sebenarnya belum pernah melakukan sesuatu apapun bagi kemajuan negeri ini. Sehingga apa yang dituduhkannya diragukan kebenarannya.
Tujuan dari penulisan ini, hanya mengajak kita untuk menyandingkan agama dengan prilaku serta ucapan dari siapa pun yang dengan sengaja melontarkan kata-kata dan sikapnya yang mengganggu kemajemukan bangsa ini serta apa sebenarnya motif dibalik upaya mereka untuk merusak persatuan dan kebhinekaan yang seharusnya mengadopsi sikap bertoleransi yang baik bagi sesama anak bangsa ini kedepan. Pembelaan rakyat terhadap Jokowi serta penolakan statemen yang bernada sarkasme sebagaimana yang dilontarkan Rocky Gerung dan Cak Nun telah mengkonfirmasi publik bahwa masyarakat begitu geram sekaligus menolak jejak politik identitas yang sesungguhnya tidak mengakar kepada kehendak rakyat melainkan sebatas wacana dari segelintir politikus islam yang membungkusnya dengan fanatisme beragama demi mengambil peluang itu melalui ketertarikan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim.
Naiknya atmosfer yang saling berhadapan antara kecintaan terhadap tanah air yang diartikan sebagai komponen dari mereka yang menegakkan ideologi bernegara, Dengan tatanan politik identitas yang diartikan sebagai ajakan untuk memperkuat ideologi personal ini guna masuk kedalam wilayah kekuasaan negara hingga menguasai Suprastruktur politik demi ikut mempengaruhi hukum konstitusi, Tentu menciptakan ketegangan diberbagai wilayah, termasuk jenjang tingkatan daerah yang sedapat mungkin mereka rebut untuk mendudukkan penguasa-penguasa kecil diberbagai daerah tersebut agar ikut ke dalam koridor gerakan mereka. Fakta ini mengingatkan kita semua, bahwa pasca runtuhnya orde baru yang dijadikan momentum bagi pembatasan kewenangan Presiden adalah celah terkuat bagi dominasi hak-hak suara rakyat melalui pedoman UU sebagaimana pasal 28 yang begitu kental dirasakan out of rules pada penerapannya.
Sehingga jika pada orde baru, seorang presiden dirasakan begitu berkuasa hingga ditakuti oleh seluruh rakyatnya, dimana setiap instrumen kekuasaan kecil di daerah dengan mudahnya melakukan apa saja dibalik backing penguasa tunggalnya yang siap membungkam bahkan menghilangkan nyawa siapapun tanpa harus melalui proses hukum. Maka kondisi saat ini justru berbanding terbalik, dimana seorang rakyat begitu ditakuti oleh presidennya dengan hanya membiarkan antar rakyat itu untuk saling berhadap-hadapan antara satu dengan lainnya demi melihat gelombang mana yang disebut suara keaslian rakyat sesungguhnya. Maka tak heran, jika Jokowi yang mengantongi angka kepuasan hingga mencapai 82% saat ini, tentu saja menjadi mayoritas yang didukung sekalipun hitungan untuk itu belum pernah dilakukan secara aklamasi. Kenyataan inilah sebagai akibat dari pengkebirian atau pembatas kewenangan presiden di masa era reformasi sekarang ini.