TOLERANSI SEBAGAI AZAS KEBAIKAN BERSAMA UNTUK DIPIJAK SEGENAP WARGA NEGARA INDONESIA

Bagikan ke :

GEMADIKA — Banyak yang menyuarakan agar bangsa Indonesia mengambil kedudukan pada kesetaraan atas perbedaan pluralis terhadap fakta kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa ini. Pendapat senada pernah disampaikan oleh KH. Buya Syakur Yasin dalam kontennya yang dishare melalui Wamimma.tv chanel. Tentu pandangannya menjadi perhatian khusus masyarakat untuk dapat dimaklumi. Selain perbedaan terhadap berbagai antar keyakinan dan agama, bahkan perbedaan mazhab-mazhab aqidah dan mazhab fiqih pun terjadi diantara sesama golongan se-agama sekalipun. Dari hal semacam ini, Buya Syakur menegaskan bahwa perlunya upaya untuk mendudukkan kesetaraan yang tidak saja terjadi terhadap keyakinan dan agama yang berbeda, namun kesetaraan yang sama pun harus pula terjadi ditengah golongan-golongan yang berasal dari mazhab-mazhab yang berbeda melalui cara pandang dan keyakinan umat islam itu sendiri.

Pengertian pluralisme yang didasari pada pemahaman atas keberagaman. Sehingga dalam artian luas, pluralisme merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat untuk memperbolehkan, membiarkan, mempersilahkan kelompok yang berbeda agar tetap menjaga eksistensi serta keunikan sekaligus keyakinan dan budayanya masing-masing. Apalagi terhadap konteks kebhinekaan sebagai naungan bagi segala golongan agar secara bersama dapat hidup ditengah perbedaan yang ada, tentu mengharuskan semua pihak selaku warga negara agar menambatkan dirinya guna mematuhi rambu-rambu perbedaan itu agar disikapi sebagai khasanah terhadap perbedaan itu sendiri. Sebab kebhinekaan merujuk pada keanekaragaman suku bangsa yang didalamnya terdapat berbagai seni dan budaya, serta adat-istiadat dari beraneka ragamnya kepulauan di wilayah negara Indonesia yang berjumlah lebih dari 17.024 pulau sebagai fakta yang unik.

Besar komponen bangsa ini memerlukan upaya untuk mengharmonikannya ke dalam satu ikatan bersama melalui falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang sejak lama masyarakat kenal. Toleransi yang dimaknai sebagai azas kebaikan bersama pun masih dipertentangkan terhadap aspek keyakinan. Bahkan tidak saja terjadi terhadap perbedaan antar agama, namun hal yang sama pun terjadi pula bagi golongan syiah sebagaimana audiensi antara Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) dengan Komisi VIII di ruang rapat Mahkamah Kehormatan Dewan di Gedung DPR RI, yang digelar di Jakarta pada Rabu (4/2). Melalui pemberitaan Republika.co.id, serta penolakan atas ahmadiyah di Indonesia sebagaimana yang diberitakan pada Liputan6.com tertanggal 06 februari 2011 lampau, akibatnya mereka mengalami intimidasi diberbagai kawasan tanah air, dimana mereka sesungguhnya mengklaim dirinya yang merupakan golongan sesama islam namun berbeda pada mazhab aqidahnya saja.

Mengambil faktor kesetaraan sebagaimana yang disampaikam oleh KH. buya Syakur Yasin dirasakan masih begitu “jauh panggang dari apinya”. Sebab meninggikan toleransi saja seakan-akan menjadi bawang mewah serta sesuatu yang langka untuk bisa diperoleh bagi segenap warga bangsa terhadap perbedaan-perbedaan diatas. Sikap Toleransi yang Semestinya menjadi Arde Bias Buang bagi guna menyalurkan arus ketanah demi menangkal Konsleting pada sistem kelistrikan atau setidaknya dijadikan sistem pemancar layaknya jaringan Broadband pada jaringan internet yang digunakan di berbagai perangkat sebagai pemancar jaringan serta koneksi antar pengguna internet. Tidak menjamin terjadinya aliran kebaikan yang disalurkan sebagai konektifitas berbangsa dan bernegara. Sehingga kesimpulan pada pendapat ini, penulis hanya menilai bahwa apa yang disampaikan oleh KH. Buya Syakur masih sebatas wacana dan mimpi indah bangsa ini semata.

Termasuk upaya untuk menjadikan Khilafah sebagai sebuah bentuk pemerintahan yang bercorakkan Islam pun sama sulitnya. Sebab pertanyaan yang harus dijawab adalah, pada mazhab aqidah yang mana sistem khilafah itu akan di setujui sebagai kesepakatan bersama dalam pengakuannya atas adanya fakta perbedaan terhadap aliran cabang-cabang islam yang beragam ditengah umat islam itu sendiri. Menyatukan perbedaan atas mazhab aqidah yang terdiri atas muktazilah, jabariyah, ahlussunah wal jamaah, qodariyah, syiah dan segala macamnya itu saja menjadi hal yang mustahil. Belum lagi menghimpun kesepakatan atas mazhab fiqih yang terdiri atas Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan lainnya pun semakin mempersulit untuk mendapatkan finalnya pengakuan kesepakatan atas bentuk Khilafah itu sendiri. Mengusung khilafah dianggap gagasan yang belum mendapatkan persetujuan bersama dari dan oleh umat islam itu sendiri pula.

Banyaknya pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan atas haluan negara, sehingga memaksakan agar terjadinya reposisi terhadap perspektif pembangunan dari tujuan berbangsa dan bernegara. Termasuk pada program-program kerja pemerintah melalui jabatan-jabatan yang mereka duduki, bahkan tak sedikit pula yang membangun kekuatannya melalui upaya menggeser stratifikasi sosial untuk melakukan perubahan atas penggolongan sosial kemasyarakatan yang semula dibangun berdasarkan pengelompokkannya secara vertikal oleh karena hal itu terkait dengan konsep pengelolaan kekuasaan negara. Dimana dasar stratifikasi sosial yang diterapkan saat ini dirasakan lebih kepada ukuran kekayaan, pendidikan, atau kekuasaan dan keturunan. Sehingga respon yang dimunculkan saat ini, lebih didorong pada perbedaan kebutuhan dan kepentingan dari setiap individu dan golongan dalam kaitannya terhadap manifestasi kehidupan mereka ditengah-tengah bermasyarakat.

Dinamika perubahan yang begitu cepat tentu membutuhkan kecermatan serta kebijaksanaan dari setiap individu dan golongan untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai hal. Era reformasi yang berlangsung sejak 1998 hingga 2014 tak lebih sekedar masa stagnasi bangsa ini dalam tujuannya untuk mempercepat pembangunan diberbagai sektor yang diharapkan bergerak kearah kemajuan. Kenaikan pendapatan negara melalui lonjakan angka-angka yang disimulasikan dalam bentuk penerimaan negara melalui APBN hingga berkali-kali lipat, nyatanya belum berdampak pada kesejahteraan rakyat. Dimana selama 10 tahun Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terlihat naik hingga 4 kali lipat. Bahkan hingga berakhirnya masa jabatan beliau pada tahun 2014, APBN pun masih bertengger diangka Rp 1.876,9 triliun. Lantas dimana letak kesalahan yang terjadi untuk diambil sebagai pelajaran bagi generasi muda kedepan atas situasi semacam ini.

Pengawasan melekat terhadap pemerintah pun sudah tersedia bahkan hingga ditingkat daerah, kritik sebagai sarana koreksi guna meluruskan sekaligus mengingatkan akan penyimpangan pun telah dilontarkan oleh berbagai pihak. Konsep good governance yang mengacu pada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaan yang diperoleh dari pertanggungjawaban bersama melalui konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan pihak swasta untuk dijadikan landasan kerja-kerja pemerintah pun telah diadopsi sedemikian rupa. Akan tetapi ruang-ruang, baik pengawasan, kritik-kritik masyarakat, serta peranan warga negara dan keikutsertaan pihak swasta belum memenuhi segala aspek hingga terjadinya disfungsi sosial. Inisiatif jokowi yang mendorong kolaborasi atas berbagai peranan sebagaimana pihak-pihak yang disebutkan diatas, dimana hal itu bertujuan demi naiknya kemampuan pemerintah melalui fungsi-fungsi penyelenggaraan good governance sebagai landasan kerjanya.

Tentu semua yang dikerjakannya itu mendatangkan hasil yang mencengangkan. Namun masyarakat perlu pula mengambil satu kesimpulan sebagai catatan bahwa, jika kalau bukan karena toleransi, apakah mungkin Prabowo masuk ke dalam kabinetnya, dan jika kalau bukan karena toleransi, apakah para penyebar fitnah dan para penghina dirinya itu dapat secara bebas menyampaikan berbagai kritiknya yang justru dinilai rakyat hanya memanfaatkan celah kebebasan berpendapat sebagaimana pasal 28E ayat (3), dimana penggunaan pasal ini malah dianggap menyalahi aturan hukum tersebut. Sebab didalam status hukum hanya ada penetapan pada status benar atau bersalah. Sedangkan didalam toleransi selalu melandasinya dengan sikap dan penilaian terhadap baik dan buruk, serta elok atau tidaknya prilaku seseorang. Inilah pentingnya toleransi itu dimaknai sebagai sikap berbangsa dan bernegara ditengah perbedaan yang nyata. Sebab hanya demi toleransi seseorang bisa memaafkan bahkan terhadap ancaman hukuman mati sekalipun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan