TACKLING KEBANGKITAN EKONOMI BERSUMBER DARI ARUS POLITIK

Bagikan ke :

Dalam istilah tehnik sepak bola, ada taktik atau cara yang sering dikenal publik dengan apa yang disebut teckling dimana tujuannya untuk merampas bola dari kaki lawan atau penguasaan bola ditangan lawan demi menghalaunya dari daerah yang dianggap berbahaya untuk menyelamatkan daerah pertahanan sendiri agar tidak terjadi kemasukan gol akibat lajunya serangan lawan. Tujuan utama dari tackling ini adalah menghentikan pergerakan bola sekaligus mengusir lawan dari wilayah pertahanan agar lajunya kecepatan pemain lawan dapat dihentikan sehingga keamanan gawang dapat terjaga secara baik. Tackling menjadi pelanggaran bila pemain dengan sengaja menekel pemain lawan tanpa menyebabkan perubahan arah bola. Namun bila dilakukan dengan baik, dimana aliran bola menjadi searah dengan pemain tanpa menciderai pemain lawan, maka tackling ini menjadi strategi yang jitu dalam suatu aksi permainan sepak bola.

Jika tackling ini berlaku dalam permainan sepak bola, namun penerapan tackling ini dapat terjadi pada olah raga lain, salah satunya adalah dalam permainan bola basket sebagai usaha yang dilakukan pemain untuk merampas bola dari tangan lawannya. Oleh karena pengertiannya yang demikian, maka tak ada salahnya jika penulis mencoba mengambil istilah ini untuk disematkan kedalam upaya politik partai serta organisasi sayap termasuk para relawannya. Khususnya pada pilpres 2024 mendatang. Sebab betapa tidak, kemenangan Jokowi pada pilpres 2014 dan 2019 tak luput dari dukungan ormas dan relawan yang mendukungnya secara gigih hingga para pendukungnya pun diperebutkan oleh berbagai kontestan capres saat ini demi meraih elektoral mereka di berbagai wilayah di Indonesia. Pada upaya inilah para capres itu melancarkan strategi bagaimana meraup dukungan yang besar dibalik tingginya kepuasan publik terhadap kepemimpinan Jokowi hingga mencapai 82 persen.

Bahkan tak sedikit dari para Jokower itu yang dianggap berhasil dalam memenangkan putra dan menantu Jokowi untuk duduk sebagai Walikota, sebagaimana Gibran Rakabuming Raka di kota Solo dan menantunya Bobby Nasution sebagai Walikota Medan. Diakui atau tidak, pengaruh ini menjadi sumber inspirasi bagi beberapa pihak untuk mengambil keuntungan coat-tail effect guna mendulang suara di pemilu 2024 yang akan datang. Salah satu langkah politik ini telah dilakukan oleh partai Gerindra, dimana partai ini mengambil putra bungsu Jokowi yang bernama Kaesang untuk dicalonkan sebagai Walikota Depok agar memutus panjangnya masa kekuasaan PKS yang telah lama bercokol dikawasan ini. Dari 50 kursi yang tersedia, pada pemilu 2019 lalu, PKS meraih 12 kursi sebagai urutan pertama. Sedangkan pada urutan kedua PDIP dengan perolehan 10 kursi dan pada tempat ke tiga adalah Gerindra dengan perolehan 10 Kursi.

Sulitnya menggeser elektoral pilwalkot Kota Depok dari tangan PKS, apalagi perolehan suara legislatif PDIP di kota ini yang justru mengalami penurunan dari pencapaiannya di pemilu 2014 lalu yang meraih 11 kursi, tentu menjadi fenomena tersendiri guna menarik Kaesang untuk maju sebagai calon Walikota baru bagi tumbuhnya harapan masyarakat kota tersebut guna mendapatkan perubahan yang signifikan tentunya. Sebab ada banyak daerah yang tampak semakin melambat terhadap aspek pembangunan, khususnya pada hal-hal mendasar yang sama sekali terlihat sekedar menjalankan rutinitas tanpa munculnya kreatifitas dan inovasi baru untuk mengiringi perkembangan kawasan tersebut guna menopang pembangunan setidaknya pada sisi Kesehatan, Ekonomi atau fasilitas Pendidikan. Oleh karena dari 3 faktor inilah yang begitu melekat pada keseharian kehidupan masyarakat kita sejak dahulu.

Walau parameter lain tetap diperlukan, namun indikator keberhasilan utama dimata rakyat akan diukur dari 3 faktor ini sebagai prioritas utamanya. Namun hingga saat ini, ukuran keberhasilan pada bidang-bidang mendasar ini amat sulit dicapai. Bahkan tak jarang bagaimana kerangka bentuk guna mengentaskannya pun belum sepenuhnya dimiliki oleh daerah baik dalam tatanan konsep atau pun strategi politik anggaran, termasuk program-program pengendalian pelayanan yang secara komprehensif bisa diwujudkan. Terlepas dari persoalan itu, beberapa pihak sering mengangkat masalah ini kedalam jargon politik guna memancing simpatik rakyat untuk memilihnya. Terutama dari segenap calon kepala daerah agar masyarakat bersedia memilih dirinya guna memenangkan pertarungan diwilayahnya masing-masing. Namun janji kampanye tetaplah menjadi janji, yang apabila tidak ditunaikan toh mereka tidak bisa dijerat secara hukum.

Orientasi politik lebih mengedepankan bagaimana memperoleh suara pemilih ketimbang apa yang menjadi persoalan dasar masyarakat. Sehingga sekalipun banyak hal yang semestinya bisa dicapai, namun hal itu tidaklah menjadi subjek yang penting dari kekuasaan yang mereka dapatkan. Toh pada akhirnya masyarakat masih tetap bisa dibodohi atas gerakan segelintir orang yang menjaga, merawat, menyuarakan mereka sebagai corong yang terus menerus dipompa ke publik dari pencapaian kinerja mereka yang rendah supaya memutar balik berbagai isu agar penguasa tersebut tetap di jalur penilaian yang dipersepsikan positif demi mempertahankan kekuasaannya. Jika sudah seperti ini, prinsip-prinsip idealisme yang semestinya mengamankan alur jangka panjang pun tak lagi dianggap hal yang utama, sebab pola-pola pragmatisme sering menjadi solusi shortcut atas berbagai persoalan yang dianggap urgent dan solutif.

Pada keadaan semacam itu, pola tackling keras pun menjadi hal yang lazim dipamerkan. Bagaimana menjatuhkan lawan politik terhadap isu-isu sensitif dan bersifat privacy bukan lagi hal yang tabu untuk dibongkar. Bahkan tak jarang kepala daerah ditelanjangi atas berbagai hal-hal yang semestinya tidak objektif untuk diukur sebagai postur ideal dari seorang pemimpin wilayah. Termasuk latar belakang pernikahan, prilaku putra-putri mereka, hingga rekam jejak pendidikan atas keabsahan ijazah yang dimilikinya. Hal itu sebagaimana yang dialami Jokowi semenjak dirinya memegang tampuk kekuasaan negeri ini. Bahkan tackling keras itu semakin ditampakkan atas munculnya berbagai pemberitaan hoaks, fitnah bahkan plesetan informasi yang sengaja di share ke publik. Peta politik pun semakin terpolarisasi pada fakta atas pentingnya mendahulukan dari aspek mana sikap masyarakat itu berpijak, apakah melandasinya melalui aturan ideologi negara atau pada ideologi agama yang menjadi sumber keyakinan individu.

Pada akhirnya segala hal dari cara-cara politik termasuk upaya yang sering disebutkan sebagai strategi guna mencapai kesejahteraan rakyat, sesungguhnya tidak sepenuhnya bergantung pada sepak terjang politik. Bahkan penulis lebih cenderung untuk menuding justru politiklah yang mendatangkan sekat-sekat dalam menghalangi kesejahteraan rakyat guna mendapatkan destinasi kesejahteraannya. Apalagi banyaknya partai politik malah semakin membebani bangsa ini terhadap berbagai kasus korupsi yang menjerat mereka pasca kekuasaan dan kewenangan yang berhasil mereka peroleh, malah mengesankan dijadikan sarana untuk memperkaya diri dan kelompoknya semata. Sehingga kondisi rakyat yang miskin hanya dijadikan objek gagasan guna diasosiasikan sebagai jargon politik semata. Pada konteks ini, penulis mengambil kutipan dari apa yang disampaikan oleh Novi Basuki bahwa China menyadari jika pembangunanlah yang menjadi kebenaran yang hakiki, bahkan politik sebagai panglima yang digaungkan sejak 27 tahun lalu kini sudah ditinggalkan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan