SIAPA CAPRES YANG BERPOTENSI MENGKHIANATI BANGSA DAN NEGARA KESATUAN INDONESIA INI

Bagikan ke :

GEMADIKA — Bangsa ini seolah-olah telah kehilangan akal sehat dan kemampuan berpikirnya. Dengan mudahnya bagi siapapun memakan isu negatif dan narasi bernada fitnah yang sengaja ditebarkan demi aksi politik yang provokatif agar berdampak entah hal itu untuk menjatuhkan seorang incumbent sebagai lawan politiknya, atau meninggikan tokoh-tokoh lain yang ingin digantikan hingga mengupayakan kemenangan bagi tokoh yang mereka usung dari kelompok tertentu hingga dengan sengaja mendorong terciptanya atmosfer politik yang panas demi mendapatkan perhatian publik dan masyarakat luas diberbagai persoalan yang diangkat. Belum lagi aksi politik identitas yang semakin ngawur terdengar ditelinga yang sering bertentangan pula dengan kaidah agama sesungguhnya. Sehingga bukan mustahil masyarakat akan membuang kesempatan emas yang dimilikinya untuk ditukar dengan paku yang berkarat.

Perlu diketahui bahwa politik adalah sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, walau berbungkus pada istilah pelayanan rakyat dalam konteks bertujuan menciptakan kesejahteraan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, namun tetap saja langkah dan strategi yang dilancarkannya mengarah pada tujuan utamanya yaitu menyasar pada kekuasaan sekaligus berusaha keras demi merebut setiap kursi-kursi guna memaksa pihak manapun untuk berbagi ruang terhadap konteks distribusi kewenangan sebagai pejabat publik dengan cara apapun sepanjang dibenarkan konstitusi dan UUD45. Bahkan dibeberapa negara nyaris tidak lagi perduli terhadap halangan dan mekanisme semacam itu, ketika ada peluang sudah barang tentu wujud politik akan menampakkan keasliannya dengan menggunakan berbagai cara hingga mereka bisa saja haus akan darah dan melegalkan pertumpahan darah untuk bersifat kejam terhadap siapapun.

Tak terkecuali terhadap kerabat mereka sendiri, semuanya akan masuk kedalam kalkulasi politik demi mendapatkan kekuasaan atas sebesar apa kekuasaan dan kewenangan tersebut bisa mereka dapatkan. Wajah-wajah pemeran panggung politik yang sering terkesan lembut dan humble kepada siapa saja yang ditemuinya, khususnya di musim masa kampanye saat ini, justru sering berbalik arah hingga menelantarkan para pemilihnya serta meninggalkan puing-puing janji kampanyenya yang dinyatakan bukan bagian dari pelanggaran hukum jika hal itu tidak terealisir. Sehingga pada bagian ini, semestinya masyarakat paham sekaligus memiliki rekam jejak dan ketelitian dalam memilih figur mana yang akan memiliki konsistensi antara ucapan dan tindakan guna membedakan mereka dengan cowboy-cowboy beringas yang menyasar pada masyarakat yang bodoh demi melampiaskan dusta-dusta sebagai siasat politiknya.

Diplomasi politik memang menjadi seni untuk meninggalkan cara-cara politik yang usang dan kotor apalagi membiarkan tangan-tangan mereka yang tak jarang berlumuran darah. Maka jalan sunyi pun ditempuh melalui propaganda politik yang dilakukannya, baik yang dilancarkan oleh pemerintah, partai politik, atau kelompok kepentingan lain guna membentuk dan menumbuhkan opini publik melalui informasi jangka pendek agar mencapai tujuan tertentu melalui strategi dan taktik yang diperankannya. Oleh karenanya, tak jarang pula signal politik yang disampaikan pun sengaja dikemas kedalam bahasa-bahasa normatif bahkan sering pula para ketua umum partai itu menghemat pernyataannya melalui bahasa tubuh mereka agar masyarakat awam tidak mudah menangkap bahkan menggoreng berbagai isu dari pesan politik mereka guna melintasi frekuensi khusus sebagai jalur pembicaraan tingkat tinggi demi mengawal kebijakan partai mereka.

Dari sekelumit cerita diatas tentu masyarakat semestinya memahami bahwa pemberitaan miring dan narasi-narasi hoaks yang saat ini bertebaran dimana-mana yang dengan sengaja dikemas sebagai bola liar adalah bentuk parsial atas ungkapan dari keinginan sekelompok orang dalam menampakkan wujudnya terhadap langkah politik tertentu, termasuk mengarahkan isu politik itu kearah pemerintah walau segala kebijakan pemerintah tersebut dilandasi pada legal opinion melalui berbagai perundingan serta pandangan dari partai-partai politik untuk selanjutnya ditujukan demi kebaikan dan kebenaran yang berlaku secara umum. Bahkan dalam berbagai kebijakannya, pemerintah acap kali melandasi keputusannya itu dengan pijakan-pijakan yang dianggap memenuhi kriteria substantif dimana pijakannya tersebut berkorelasi pada hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang detail, rinci, mendalam, serta dianggap sebagai bagian yang paling pokok dari inti masalah apa yang akan dilakukannya.

Serang menyerang dan mengkritisi dalam politik adalah bagian dari seni memerankan fungsi dan tugas dari para pihak yang berkompetensi dalam percaturan politik. Dari cara persuasif atau bujukan halus melalui komunikasi yang digunakan untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain yang didahului dengan langkah persuasi demi mengajak, membujuk dan menyuruh seseorang atau setiap individu agar melakukan sesuatu dari caranya berusaha mendapatkan kepercayaan sekaligus harapan orang lain terhadap tindakan atau pun upaya politik yang dilakukannya, sebab Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang bertujuan untuk mengubah atau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Termasuk melakukan Branding dan Rebranding image dalam politik untuk memperkenalkan segala penampilan yang sedapat mungkin disesuaikan dengan selera masyarakat menjadi bagian yang tak terelakkan.

Jika branding pada awalnya sengaja memunculkan karakter, simbol, atau apapun yang dikemas sebagai pembeda terhadap figur atau capres lain, maka rebranding justru merupakan upaya sebaliknya untuk mengubah secara total dari brand yang selama ini terlanjur melekat demi mendapatkan konstituen baru yang lebih besar dan segar. Bahkan upaya ini dijadikan cara untuk mendudukkan kembali presiden yang bernuansa orba yang tanpa terasa kini menggeluti pikiran masyarakat. Kekuatan mereka pun terbilang hebat, tentu saja jika masyarakat cermat dalam mengamatinya, akan bisa memahami dari karakteristik pergerakannya yang berbeda, termasuk asal muasal organisasinya pula. Sebab dari sanalah citra politik mereka dapat dengan mudah diterka. Walau pada awalnya masyarakat sempat terkecoh dari istilah koalisi besar yang sengaja dibangun melalui beberapa faksi ( KKIR dan KIB ) demi melanjutkan estafet kepemimpinan nasional pasca berakhirnya masa jabatan Jokowi, akan tetapi hal itu direspon oleh kelompok nasionalisme sebagai gerakan kristalisasi orde baru.

Jika rezim Orde Baru berikut sisa pengikutnya selalu mendengungkan bahaya laten atas kembalinya kekuatan PKI dari sejarah G30S PKI, apalagi menyongsong bulan Oktober nanti, maka bagi PDIP tentu sebaliknya, mereka akan mengingat tragedi kudatuli yang telah memakan Korban yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 dimana terdapat 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang lainnya hilang. Ranjau gagasan koalisi besar kini menggeser arahnya untuk melawan partai pemerintah saat ini. Walau pemerintah berdiri diatas koalisi beberapa partainya saat ini, namun sejatinya Presiden sekarang justru identik dengan PDI Perjuangan dimana Jokowi selaku kader asalnya. Fakta benang merah ini persis sama dengan bergeser frekuensi manual menjadi frekuensi digital melalui pemanfaatan Set Of Box sehingga meninggalkan sinyal-sinyal lama dengan jaringan konvensionalnya. Hal itu terlihat dari pemberitaan CNBC Indonesia tertanggal 13 Agustus 2023, dimana Ketua Umum Partai Golkar telah mendukung Prabowo Subianto sebagai Capresnya.

Tentu saja masyarakat menjadi tak heran bila nantinya Nasdem dan Demokrat diduga akan menyusul kemudian. Sebab bagaimana pun partai tersebut memiliki DNA yang sama dari sebelumnya merupakan pecahan partai Golkar. Artinya kristalisasi Orba akan kembali muncul dalam sejarah era reformasi saat ini. Sekalipun masyarakat pernah mendongkel keberadaannya sejak tahun 1998 silam, namun kekuatan mereka terbilang hebat, bahkan tak segan-segan Prabowo mendompleng popularitas serta tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi yang kini mencapai hingga 90% dari hasil survey LSI juli 2023 kemarin. Pasca deklarasi Capres PDIP yang ditujukan kepada Ganjar, memang gagasan Koalisi Besar ini langsung kandas dari tujuan Jokowi untuk melanjutkan estafet Koalisi yang dipimpinnya. Namun membiarkan Koalisi ini menjadi kristalisasi Orde Baru tentu menjadi hal yang patut dicermati. Masyarakat harus cepat mengupgrade pemikirannya agar lebih cepat menangkap sinyal-sinyal politik yang saat ini bertebaran, sebab dari cara itulah arah penyimpangan politik dapat segera dievakuasi.

Satu hal yang bisa dilakukan capres lain adalah merubah komposisi saham perusahaan asing yang telah di nasionalisasikan kedalam penguasaan NKRI. Sehingga bagi capres lain dapat saja hal ini di negosiasikan ulang demi mendapatkan dukungan internasional. Demikian pula program hilirisasi yang saat ini ditentang oleh Uni Eropa, namun menjadi cara untuk mendongkrak ekonomi Indonesia, tentu saja bisa dibatalkan dengan kompensasi yang sama. Bahkan terhadap kelanjutan pembangunan IKN sekalipun bisa saja ditelantarkan. Namun hal itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh Ganjar Pranowo yang merupakan kader PDI Perjuangan dari partai yang sama dengan Jokowi. Dari sini semestinya menjadi referensi berpikir masyarakat luas, bahwa memilih Presiden sama pentingnya dengan memperjuangkan hajat hidup bangsa dan negara ini, terlepas dari isu money politik yang begitu sulit dibendung. Demikian akhir dari penulisan ini semoga pembaca budiman dapat memaklumi segala kekurangannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan