Sejarah Kabupaten Grobogan

Bagikan ke :

Gemadikatv.com. –Berdasarkan perjalanan sejarahnya, Kabupaten Grobogan atau Daerah Grobogan sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram Hindu. Daerah ini menjadi pusat Kerajaan Mataram dengan ibu kotanya di Medhang Kamulan atau Sumedang Purwocarito atau Purwodadi. Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke sekitar kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i Watu atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura.

Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan merupakan daerah yang penting bagi negara tersebut. Sedang pada masa Mojopahit, Demak, dan Pajang, daerah Grobogan selalu dikaitkan dengan cerita rakyat Ki Ageng Sela, Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan dan cerita Aji Saka. Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan termasuk Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif Bupati Nayoko Ponorogo : Adipati Surodiningrat.

Dalam masa Perang Prangwadanan dan Perang Mangkubumen, daerah Grobogan merupakan daerah basis kekuatan Pangeran Prangwedana (RM Said) dan Pangeran mangkubumi. Wilayah Grobogan meliputi daerah Sukowati sebelah Utara Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, Cengkal Sewu, bahkan sampai ke Kedu bagian utara (Schrieke, II, 1957 : 76 : 91 ). Daerah Sukowati ini kemudian sebagian masuk wilayah kabupaten Dati II Sragen antara lain : Bumi Kejawen, Sukowati, Sukodono, Glagah, Tlawah, Pinggir, Jekawal, dan lain-lain.

Daerah yang masuk wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali antara lain lain : Repaking, Ngleses, Gubug, Kedungjati selatan, Kemusu, dan lain-lain. Sedang daerah Grobogan yang kemudian termasuk wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan antara lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu, sela, Teras Karas, Medang Kamulan, Warung (Wirosari), Wirasaba (Saba), Tarub, Getas, dan lain-lain. Dalam pekembangan sejarah selanjutnya, atas ketentuan Perjanjian Giyanti (1755), sebagai wilayah Mancanegara.

Grobogan termasuk wilayah Kasultanan bersama-sama dengan Madiun, separuh Pacitan, Magetan, Caruban, Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu-Wirosari) (Sukanto, 1958 : 5-6). Dalam perjanjian antara GG Daendels dengan PAA Amangkunegara di Yogyakarta, tertanggal Yogyakarta, 10 Januari 1811, ditetapkan, bahwa uang-uang pantai yang harus dibayar oleh Guperman Belanda di hapus. Kedua, kepada Guperman Belanda di serahkan sebagian dari Kedu (daerah Grobogan), beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga, distrik-distrik Grobogan, Wirosari, Sesela, Warung, daerah-daerah Jipang,dan Japan. Ketiga, kepada Yogyakarta diberikan daerah-daerah sekitar Boyolali, daerah Galo (?), dan distrik Cauer Wetan (?) (Ibid. : 77).

Pada masa Perang Diponegoro, daerah Grobogan, Purwodadi, Wirosari, Mangor (?), Demak, Kudus, tenggelam dalam api peperangan melawan Belanda (Sagimun MD, 1960: 32, 331- 332). Begitulah Kabupaten Grobogan, daerah yang selalu bergolak di sepanjang sejarahnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai daerah yang penuh daya dan semangat untuk hidup bebas merdeka. Bahkan sampai masa pergerakan Nasional dan masa kemerdekaan dan sesudahnya, rakyat Kabupaten Grobogan sangat besar andilnya dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Kabupaten Grobogan di Awal Sejarah Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, Jl: 77; Raffles, 1978: 212). Di lain pihak cerita Aji Saka di daerah Kabupaten Grobogan juga merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita “lambang” bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa.

Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam : Dewata Cengkar. Beberapa data dari sumber tradisional juga terdapat dalam : a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5). Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, “Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa”. Aji Saka gumujeng amangsuli, “Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun.

Wondene ingkang kawartos puniko inggih kula”. b. Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931: (hal. 10;27) Jangaran jaman Kala Dwapara … Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka … Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka. c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51. Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan.

Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar … d. RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23. Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu.

Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak.

Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar. Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji Saka adalah seorang raja yang kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan menjadi seorang Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu.

Sebab sebutan untuk Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa. Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang “desthar” (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar.

Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya putih).

Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan “nir wuk tanpa jalu” yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga.

Atau dapat juga pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga. Secara geografis, sekarang wilayah Kabupaten Grobogan memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur. Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki-laki.

Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga laki-laki “dimakan” oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dan lain-lain.

Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi Mataram! Sekarang dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu ? Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata: Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti “ibu kota”. Buktinya : Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : “rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu”. (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147).

Artinya pembesar-pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.  Prasasti Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya “ri Mendhang ri Bhumi Mataram”, artinya “di Medhang di Bumi Mataram”. Dan nama ibukota ini dalam prasasti Tengaran tersebut disebut pula “Medhang i Bumi Mat i Watu” yang artinya “Ibukota di Bhumi Mat i Watu” (Caspaaris, I, 1950 : hal. 39-42).

Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram, kota ini sebagai “kuthagara”nya di Mataram. Sedang Kamulan berasal dari kata dasar “mula” mendapatkan awalan “ka” dan akhiran “an”, membentuk kata benda. Arti “mula” adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh penjelasan tentang “mula” tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia I (1950). Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak ibukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu, Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain.

Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang sebagai berikut : Di sekitar Prambanan, sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat ibukota kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957 : 40). Juga dalam cerita Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan. (Ranggawarsito, III, 1922). 

Letaknya di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas istana kerajaan Medhang. (Raffles, 1978).  Pendapat purbacarka dalam bukunya “Enkele Oud platsnamen” dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura.

Dyah Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, kemudian berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke Prambanan lagi, baru sesudah itu berpindah ke Jawa Timur.

Alasan menentukan ibukota pertama di Purwodadi adalah : “Purwa” berarti “permulaan” (Jawa: kawitan). “Dadi” artinya “jadi” (Jawa : Dumadi). Yang mula-mula jadi, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Hal ini dikaitkan dengan ceritera Aji Saka dengan Carakan Jawanya yang mengandung hidup, dan kehidupaan manusia “Manunggaling Kawula Gusti”, dari sejak asal mula manusia di dunia ini.  Bila kita tinjau letak geografisnya, memang lebih sesuai, sebab didaerah tersebut mudah mencari air, padahal setiap makhluk membutuhkan air.

Daerah ini memanfaatkan air sungai Lusi dan beberapa anak sungainya untuk lalu lintas, pengairan kebutuhan hidup sehari-hari. Lagi puia daerah ini tidak jauh dari laut, bahkan mungkin terletak di tepi pantai Laut Jawa. Selanjutnya bagaimana cerita tentang Grobogan ? Menurut cerita tutur yang beredar di daerah Grobogan, suatu ketika pasukan Demak di bawah pimpinan Sunan Ngudung dan Sunan Kudus menyerbu ke pusat kerajaan Mojopahit.

Dalam pertempuran tersebut pasukan Demak memperoleh kemenangan gemilang. Runtuhlah kerajaan Mojopahit. Ketika Sunan Ngundung memasuki Istana, dia menemukan banyak pusaka Mojopahit yang ditinggalkan. Benda-benda itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah grobog, kemudian dibawa sebagai barang boyongan ke Demak.

Peristiwa tersebut sangat mengesankan hati Sunan Ngudung. Sebagai kenangan, maka tempat tersebut diberi nama Grobogan yaitu tempat berupa grobog. Di atas dijelaskan, bahwa grobog adalah sebuah kotak persegi panjang yang digunakan untuk menyimpan uang atau barang yang dibuat dari kayu. Kadang-kadang berbentuk bulat, agar mudah membawanya dan dengan cepat dapat diselamatkan apabila ada bahaya mengancam, misalnya bahaya kebakaran.

Tetapi grobog juga dapat berarti kandang yang berbentuk kotak untuk mengangkut binatang buas (misalnya: harimau) hasil tangkapan dari perburuan. Grobog tersebut dapat juga digunakan sebagai alat penangkap harimau. Grobog ini biasa disebut Grobog atau bekungkung (bila kecil disebut: jekrekan untuk menangkap tikus) (Geriecke dan Roorda, 1901 : 569).

Sejalan dengan itu maka Grobogan adalah sebuah daerah yang digunakan sebagai daerah perburuan. Dan ternyata daerah ini merupakan daerah perburuan Sultan Demak (Atmodarminto, 1962 : 119) atau merupakan daerah persembunyian para bandit dan penyamun zaman Kerajaan Demak Pajang (Atmodarminto, 1955 : 123). Pada zaman Kartasura daerah ini merupakan daerah tempat tinggal tokoh-tokoh gagah berani dalam berperang (Babad Kartosuro, 79), misalnya : Adipati Puger, Pangeran Serang, Ng. Kartodirjo, dan lain-lain.

Samana jeng Suitan karsa lelangen, amburu sato ing wanadri, Trenggono kadherekaken para abdi, mring Sela wus laju maring anggrogol sato wana. (Admadarminto, 1062 : 19). Dalam abad XIX daerah Grobogan merupakan daerah persembunyian para pahlawan rakyat penentang kekuasaan kolonial Belanda, bersama-sama dengan daerah Sukowati.

Daerah ini sangat cocok sebagai daerah persembunyian, karena merupakan daerah hutan jati yang lebat dan berbukit-bukit. Dari silsilah Raja raja ternyata, bahwa dari daerah Grobogan (Getas, Sela) lahirlah tokoh- tokoh yang menjadi nenek moyang raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram.

Maka tidaklah aneh apabila raja-raja Surakarta dan Yogyakarta menaruh perhatian besar terhadap daerah Grobogan, khusunya daerah yang dahulu menjadi milik kerabat Sela.

Hal ini terbukti pula bahwa pada ketentuan perjanjian Giyanti 1755 daerah Grobogan masuk kedaerah Kesultanan Yogyakarta. Sampai sekarang Makam Ki Ageng Sela di Desa Sela masih dalam pengawasan dan pemeliharaan Kasultanan Yogyakarta.

Terbentuknya Kabupaten Grobogan Pembahasan terhadap terbentuknya sesuatu Kabupaten (Pemerintah Kabupaten Grobogan) sama halnya dengan pembahasan terhadap terbentuknya sesuatu pemerintahan sesuatu daerah. Yang dimaksudkan dengan hari Jadi ialah hari kelahiran, dies natalis, yaitu saat sesuatu itu tidak ada menjadi ada. Menurut pandangan hidup “kejawen”, hari kelahiran mengandung makna yang besar dan berarti, yang menggembirakan dan penuh harapan. Harapan kelahiran juga memberikan sifat-sifat tertentu kepada yang dilakukan.

Seseorang yang baru lahir, merasa bebas dari kungkungan perut ibunya. Namun di alam bebas dia harus mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Panas, dingin, lapar, dan dahaga harus dialaminya. Dia harus berjuang agar tetap hidup.

Dia mencoba dan berusaha menggunakan alat-alat tubuh yang dimilikinya menurut kemampuannya untuk dapat bertahan hidup dan keberadaannya. Ibarat kelahiran seorang bayi tersebut, dapat pula kita terapkan pada kelahiran suatu negara, daerah, kota, ataupun pemerintahan.

Walaupun, masih sangat sederhana, masih mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan dan perubahan lingkungan atau zaman, kelahiran sesuatu negara, daerah, kota ataupun pemerintahan harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat sebagai pendukung, dan pemerintahan sebagai arahan dalam usaha mempertahankan kehidupan dan keberadaannya.

Kalau menurut pandangan “kejawen” kelahiran sesuatu negara, kota atau pemerintahan didasarkan pada adanya pulung, cahya nurbuat, wahyu, andaru ataupun impian-impian, seperti termuat dalam cerita-cerita di sumber-sumber babad, maka secara rasional kelahiran sesuatu negara, daerah, kota atau pemerintahan didasarkan pada kenyataan sejarah peristiwa yang berupa kegiatan perjuangan manusia-manusia tokoh-tokoh penumbuh berdirinya kota, negara, daerah atau pemerintahan tersebut. Misalnya : R. Wijaya (Mojopahit), R. Patah (Demak), Mas Karebet (Pajang), P. Dayaningrat (Pengging), Sutowijoyo (Mataram), P. Banjaransari (Pajajaran) dan lain-lain. Di dalam menurut perkembangan Sejarah daerah atau Kabupaten Grobogan untuk mencari dan menemukan kapan daerah tersebut mulai menunjukkan kegiatan pemerintahannya secara mandiri, tidak di pengaruhi oleh pemerintahan lain yang bersifat memaksa. Usaha ini tidak lain adalah usaha untuk mencari dan menemukan kelahiran sesuatu Kabupaten, maka wilayah pemerintahan dalam sejarah pemerintahan Jawa adalah : mula-mula secara bertingkat adalah : Kabupaten, Patinggen, Kedamangan, Kalurahan atau Desa.

Di atas terdapat Kemantren atau Kecamatan atau Onder Distrik, Kawedanan atau Onder Regentschap, dan terakhir adalah Kabupaten Gunung, Kabupaten Pangreh Praja atau Regentschap. Sebagai pusat pemerintahan adalah Kerajaan atau Negara. Untuk wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan, dalam menetapkan Hari Jadinya didasarkan pada kapan terciptanya pemerintahan lokal Kabupaten di Grobogan pada masa dahulu. Dalam sejarah Jawa, jabatan Bupati adalah Bupati Prajurit. Sebutannya Adipati. Tugasnya : menyediakan prajurit dan tenaga untuk raja dan kerajaan. Maka Bupati ini harus bertempat tinggal di Khutogoro.

Di samping tugas tersebut, maka dia harus pula menyediakan kebutuhan istana, orang aneh, kain-kain, dan sebagainya. Sebagai pemimpin dari beberapa Bupati tersebut diangkat Bupati Nayoko atau Wedono Bupati Sepuh (Serat Adhel : 11-13) Bupati jenis ini memiliki wilayah yang pasti dan sistem pemerintahan yang tetap. Misalnya pada zaman kerajaan kita ketahui adanya Bupati Panekar, Bupati Numbak Anyar, Bupati Bumi Gede, Bupati Penumping, dan sebagainya. Setelah sistem administrasi wilayah dikembangkan menurut pola administrasi Barat (Belanda), maka pada Tahun 1840 dikeluarkan Serat Angger-Anggeran Nagari atau Serat Angger Gunung, yang mengatur tata tertib dan pemerintahan di daerah pedesaan.

Untuk pengamanan wilayah maka diadakan pos penjagaan (keamanan sepanjang jalan lalu-lintas utama antara Surakarta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta-Semarang. Nama pos penjagaan itu adalah Pos Tundan, yaitu sebagai tempat penjagaan daerah tersebut. Sedang di daerah Gubernermen juga mulai ditertibkan pembentukan Regenschap atau Kabupaten Administratip.

Kemudian pembentukan Pos Tundan itu ditingkatkan lagi dengan pembentukan Kabupaten Gunung Polisi berdasarkan Staatsblad 1847 no. 30 dan kelengkapannya melalui Staatsblad van Ned. Indie 11854 no. 32. Sampai di sini tugas seorang Bupati masih sebagai Bupati Prajurit dan Kepala Pengadilan Wilayah yang bertindak sebagai Polisi Daerah.

Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad van Ned. Indie, 30 September 1918 No. 14 tentang status Bupati Staatblad ini kemudian diikuti keluarnya Rijksblad Surakarta, 12 Oktober 1918 No. 23 dan No. 24 yang disyahkan pelaksanaan oleh Pranatan Patih Dalem No. 383 th 1918 yang isinya penggantian nama Abdi Dalem Patari (Abdi Dalem Gunung) beserta stafnya menjadi Abdi Dalem Pangeran Projo supaya sesuai dengan status Kabupaten daerah Gubernemen; Para Abdi Dalem Wedana, Panewu Mantri kang sumengko kasebut Golongan Polisi, nanging kang kawajiban nindakake babagan paprintahan, ikut ing sumengko jenenge Golongan Abdi Dalem mau Kasalinan, Abdi Dalem Pangreh Praja. (Rijksblad Surakarta, 1918 No. 23 : 169-171). Mungguh kuwajiban para panewu panggedening Distrik Serat tumrap babagan Polisi wae nanging iya anindakake babagan peprintahan (Rijksblad Surakarta, 1918 No. 14:171).

Dengan ketetapan tersebut maka seluruh Jawa ada sebutan Kabupaten Pangreh Projo, termasuk Kabupaten Grobogan di Purwodadi. Perlu diketahui bahwa struktur Pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja adalah sebagai berikut : Bupati, disebut Bupati Pangreh Praja. Panewu Gunung disebut Wedono Pangreh Praja. Panewu Sekretaris yang disebut Wedono Kondaning Bupati Pangreh Praja. Mantri Gunung disebut Mantri Pangreh Praja.

Mantri Sekretaris yang disebut Panewu Kondhaning Wedanan Pangreh Praja. Mantri Polisi disebui Mantri Pangreh Praja. Disamping itu juga ditetapkan struktur birokrasi dengan di tingkat Distrik (Kawedanan) dan Onder Distrik (Kemantren) di daerah-daerah wilayah Kabupaten Pangreh Praja. Jumlah Pejabat menurut Staatsblad V Ned Indie 1924 No.18 dengan Rijksbald Surakarta 1924 No.19 adalah sebagai berikut. Staatsbald V Ned Indie 1924 No. 18 hal 40-41 Rijksblad 1924 No.24 hal. 41-42. Para pembantu Sekretaris, pembantu Priyayi, termasuk Golongan Pangreh Praja.

Para Carik serta Mantri di Kabupaten pra Carik Panewon dan Keonderan Distrik serta uang diperbantukan di Algemene Polisi. Para Priyayi yang memiliki Diploma Pangreh Projo Pemerintahan Jawa serta Para Mantri Polisi. Para Mantri Sekretaris Kabupaten. Para Mantri Pembesar Onder Distrik. Para Panewu Sekretaris. Para Panewu Pembesar Distrik. Bupati Anom Pangreh Praja. Bupati Pangreh Praja. Dari penjelasan diatas, setelah kita mengkaji perkembangan sejarah Grobogan yang sekarang menjadi Kabupaten daerah Tingkat II Grobogan, untuk menetapkan hari jadinya dapat di ajukan alternatif sebagai berikut : Berdasarkan penjelasan di atas, maka Hari Jadi Kabupaten Grobogan jatuh pada hari Senin, 21 Jumadilakir, 1650 atau 4 Maret 1726.

Pada saat itu Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi yang berjasa kepada Sunan, bernama Ng. Wongsodipo menjadi Bupati Monconegari Grobogan dengan nama RT Martopuro. Dalam pengangkatan ini ditetapkan pula wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya, ialah ditetapkan pula wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya, ialah Sela, Teras, Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian Utara Bengawan Sala. (Babad Pecina : 172-174). Oleh karena Kota Kartosuro pada waktu itu sedang dalam keadaan kacau, maka RT Martopuro masih tetap di Kartosuro. Sedang pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada kemenakan sekaligus menantunya : RT Suryonegoro (Suwandi).

Tugasnya menciptakan struktur pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja. Seperti adanya Bupati Patih, Kaliwon, Panewu, Mantri dan seterusnya sampai jabatan Bekel di desa-desa. Pengertian Monconagari ialah daerah taklukan Raja Daerah ini bukan daerah asli. Pendudukan sebagai daerah yang berkewajiban “seba” kepada raja setahun sekali yaitu pada hari besar “Gerebeg”. Perlu diketahui bahwa sejak masa Kartosuro sampai masa Surakarta awal, awal Kerajaan dibagi menjadi tiga kelompok daerah yaitu : Kuthogoro, yaitu tempat tinggal raja, keluarga raja dan pejabat tinggi kerajaan.

Negara Agung yaitu daerah asli kerajaan, daerah ini dibagi menjadi 8 Kabupaten Nayaka (dibawah Bupati Prajurit). Kedelapan Kabupaten tersebut ialah : Kabupaten Bumi, Bumija, Bumi Gede Kiwa, Bumi Gede Tengan, Sewu Numbak Anyar, Penumping, dan Panekar. Monconagari, daerah ini merupakan daerah vasal yang terdiri dari daerah Monconagari Kilen dan monconagari Wetan serta pengangkatan Ng. Wongsodipo sebagai Bupati Grobogan dengan gelarnya RT.

Martapura belum dapat dikatakan sebagai waktu lahirnya Kabupaten Grobogan, sebab sebelum memenuhi persyaratan dasar bagi sebuah Kabupaten. Dari penjelasan di muka, jelas bahwa pangangkatan Bupati Grobogan atas diri Ng. Wongsodipo atau RT Martopuro atau Adipati Puger disertai dengan penyerahan kekuasaan atas daerah-daerah yang menjadi wilayahnya. Ini berarti, bahwa pengangkatan Bupati di sini adalah sebagai Bupati Kepala Daerah.

Sebagai Bupati Patih adalah RT Suryonegoro. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai Bupati Kepala Daerah, Adipati Puger menguasai daerah-daerah Demak, Santenan, Cengkal Sewu, Wirosari, Sela, Teras, Karas, Blora dan Jipang, serta daerah-daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala. Sedang sebutan Adipati merupakan sebutan bagi seorang Bupati Monconagari yang memiliki kedaulatan atas daerah-daerah yang dikuasainya. Penataan administrasi wilayah sudah barang tentu dilakukan secara bertahap dan baru pada masa pembentukan Kabupaten Pangreh Praja (1847) sistem administrasi Kabupaten sudah boleh dikatakan mendekati sempurna, seperti Kabupaten Daerah Tingkat II sekarang.

Di samping itu Adipati Puger atau RT Martopuro menjabat Bupati Grobogan sampai meninggalnya (1753), dan nantinya dia digantikan oleh menantunya : RT Suryonagoro dengan gelarnya RT Yudonagoro. Dari penjelasan di atas, maka tanggal 4 Maret 1726 dapat ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Grobogan telah ada dan jelas memiliki perangkat yang diisyaratkan bagi adanya sebuah Kabupaten, yaitu adanya : wilayah, rakyat, dan pemerintahan, walaupun belum sempurna (Senin, 21 Jumadilakir, 1650).

Selanjutnya sebagai akhir uraian dari bab ini perlu disebutkan para Bupati yang pernah memerintah di Kabupaten Grobogan. Menurut data yang ada Kabupaten Grobogan dengan ibu kota Grobogan pindah ke kota Purwodadi terjadi pada Tahun 1864. Peristiwa ini hanyalah merupakan perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan. Jadi tidak terjadi perubahan status daerah tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya kita ketahui bahwa pada 1928 (Staatbald, 1928 No. 117) Kabupaten Grobogan mendapatkan tambahan dua distrik (Kawedanan) dari Kabupaten Demak, yaitu : 1. Kawedanan distrik Manggar dengan ibukotanya di Godong 2. Kawedanan distrik Singen Kidul dengan ibukotanya di Gubug.

Maka Jumlah desa di dalam wilayah Kabupaten Grobogan dengan tambahan dua Kawedanan tersebut yang semula terdiri atas 129 desa menjadi 280 desa sampai sekarang. Pada tanggal 1 Januari 1930 (Staatblad 1930, No. 3) berdirilah Regent Schapsraad (Dewan Katapaten) Grobogan sebagai badan ekonomi dimana Regent (Bupati) sebagai ketuanya.

Pada Bulan April 1932 asistenan Karangasem Kawedanan Wirosari dihapus dan dalam Bulan September 1933, asistenan Gadoh Kawedanan Manggar juga dihapus (Staatblad 1932, No. 16; Staatblad 1933, No. 51). Kemudian mendapatkan tambahan asistenan Klambu Distrik Undaan Kabupaten Kudus. Pada Bulan Maret 1942 di masa Perang Dunia II daerah Grobogan juga tidak luput dari pendudukan tentara Jepang. Pada waktu itu Bupati Grobogan R. Adipati Ario Soekarman Martohadinagoro meninggalkan kota (Purwodadi) dan mengungsi di Pesanggrahan Argomulyo (milik Perhutani).

Tetapi tidak lama kemudian oleh Jepang diserahkan kembali ke Purwodadi dengan ditetapkan sebagai Kentyo (Bupati) Grobogan. Pada tahun 1944 Bupati Ario Soekarman di pindah ke Semarang, digantikan oleh R Soegeng sampai Tahun 1946. Untuk jelasnya nama-nama Bupati yang pernah memerintah Kabupaten Grobogan sejak Adipati Martopuro Tahun 1726 adalah sebagai berikut : a. Pada waktu ibukota Kabupaten menetap di Kota Grobogan Adipati Martopuro atau Adipati Puger : 1726 – RT. Suryonagoro Suwandi atau RT. Yudonagoro. RT. Kartodirjo : 1761 – 1768, pindahan dari RT. Yudonagoro : 1768 – 1775. Kemudian R. Ng. Sorokerti atau RT. Abinaro RT. Yudokerti atau Abinarong II : 1787 – 1795. RM. T. Sutoyudo : 1795 – 1801. RT. Kartoyudo : 1801 – 1815. RT. Sosronagoro I : 1815 – 1840. RT. Sosronagoro II : 1840 – 1864. b. Setelah ibukota Kabupaten menetap di Kota Purwodadi Tahun 1864.

Adipati Martonagoro : 1864 – 1875. RM. Adipati Ario Yudonagoro : 1875 – 1902. RM. Adipati Ario Haryokusumo : 1902 – 1908. Pangeran Ario Sunarto : 1908 – 1933, Pencipta Trilogi Pedesaan yaitu di desa-desa harus ada Sekolah Dasar, Balai Desa, dan Lumbung Desa. R. Adipati Ario Sukarman Martohadinegoro : 1933 – 1944. R. Sugeng : 1944 – 1946. R. Kaseno : 1946 -1948. Bupati merangkap ketua KNI. M. Prawoto Sudibyo : 1948 – 1949. R. Subroto : 1949 – 1950. R. Sadono : 1950 – 1954. Haji Andi Patopoi : 1954 – 1957.

Bupati Kepala Daerah. H. Abdul Hamid sebagai Pejabat Bupati dan Ruslan sebagai Kepala Daerah yang memerintah sama-sama; 1957-1958. R. Upoyo Prawirodilogo, Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRDGR 1958 – 1964. Bupati inilah yang memprakarsai pembangunan monumen obor Ganefo I di Mrapen. Supangat; Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRGR : 1964 – 1967. R. Marjaban, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1967 – 1970. R. Umar Khasan, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1970 – 197 Kolonel Inf.

H. Soegiri, Bupati Kepala Daerah : 11 Juli 1974 – 11 Maret 1986. Kolonel H. Mulyono US : Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1986 – 11 Maret 1996. Kolonel Inf. T. Soewito , Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1996 – 2001 Agus Supriyanto,SE sebagai Bupati dan H.Bambang Pudjiono,SH sebagai Wakil Bupati Grobogan : 11 Maret 2001 – 2006 H.Bambang Pudjiono,SH sebagai Bupati dan H.Icek Baskoro,SH sebagai Wakil Bupati Grobogan : 2006 – 2011. H.Bambang Pudjiono,SH sebagai Bupati dan H.Icek Baskoro,SH sebagai Wakil Bupati Grobogan : 2011 – 2016. Sengkalan Hari Jadi Pemerintah Kabupaten Grobogan, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Senin, 21 Jumadilakir, Tahun 1650 Jawa. KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI Arti : KOMBULING : dari kata : Umbul = kaumbul, mumbul, muluk, naik ke angkasa, tiada, hilang, kawentar, terkenal, bersatu. CIPTO : dari kata : anggan-angan, cita-cita, gegayuhan, krenteging ati, cipta, mencipta. HANGROSO : dari kata : roso, cipta, rasa batin merasa. JATI : dari kata : sejati, benar, sungguh, yekti, suci.

Arti Sengkalan KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI : Bersatunya kehendak dengan Nyang Agung menumbuhkan rasa sejati hidup dalam kesucian. Makna : Bersatunya angan-angan atau cita-cita yang luhur dengan dilandasi rasa percaya kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberi semangat untuk berbuat baik, karena sadar bahwa kita (manusia) adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi martabat dan hakekatnya. Angka Tahun : KOMBULING – Ka-umbul-mumbul-tiada-hilang = bernilai 0 (nol) CIPTO – angan-angan, cita-cita, gegayuhan, krentegingati = bernilai 5 (lima) HANGROSO – ngrasa-merasa = bernilai 6 (enam) JATI – Sejati, sayekti, benar, suci = bernilai 1 (satu) Sengkalan KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI bernilai angka tahun Jawa 1650. 2. Senin, 4 Maret, Tahun 1726 Masehi. KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA Arti : KRIDHANING : dari kata : kridha, gawe, obah, gerak, kerja HANGGA : dari kata : hangga, anggota badan, tenaga HAMBANGUN : dari kata : bangun, bekerja, menciptkan sesuatu, membuat sesuatu PRAJA : dari kata : praja, nagara, nagari, negara Arti : Sengkalan KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA : Kegiatan kerja kita adalah untuk membangun negara dengan segala isinya (manusia, bangsa, dan pemerintahan negara). Makna : Tekat yang kuat untuk membangun daerah atau negara yang berisi manusia dan benda wajib dilandasi oleh sarana bekerja giat di segala bidang (fisik maupun non-fisik). Angka Tahun : KRIDHANING – obah, gawe, nyambut gawe, bekerja = bernilai 6 (enam) HANGGA – anggota badan (tangan dan kaki) = bernilai 2 (dua) HAMBANGUN – mbangun, membangun, menciptakan sesuatu yang baru atau memperbaruhi sesuatu yang lama = bernilai 7 (tujuh) PRAJA – praja, negara, daerah = bernilai 1 (satu). Sengkalan KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA bernilai angka Tahun Masehi 1726.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan