Saya Bersyukur Punya Kesukaan Menulis

Bagikan ke :

GEMADIKA – Dulu kalau mengritik harus nulis di koran, diseleksi oleh redaktur. Harus mengikuti standar bahasa dan jurnalistik mereka.

Pemikiran harus runtut. Ide harus jelas. Dan tidak boleh menyinggung penguasa. Karena kalau penguasa tidak senang, bukan hanya penulisnya yang akan susah, tapi media yang merupakan institusi tempat orang berkarir dan cari nafkah, juga bisa ditutup.

Ini berbeda dengan sekarang. Semua orang bisa punya media sendiri. Nulis, ngomel, marah, nyinyir, bisa diupload di akun atau media miliknya. Tidak ada seleksi orang atau gate keeping dari orang lain dengan standar jurnalistik baku.

Sekarang orang, kelompok orang punya standar sendiri-sendiri. Punya argumen sendiri-sendiri. Tidak peduli dengan aturan. Itulah era disrupsi, sekaligus era post truth. Pemerintah yang dulu begitu powerul, sekarang dalam urusan komunikasi juga hanya bertindak seperti media. Media yang sepi dan kesepian.

Pemerintah bikin konten bersaing dengan media dan konten milik ratusan juta netizen. Dalam persoalan komunikasi publik. Kekuatan nitijen melebihi kekuatan negara.

Untungnya ada tokoh-tokoh yang kuat di pemerintah. Ada presiden yang punya akun dengan follower tak kalah dengan media konvensional, punya menteri, gubernur dan lain-lain yang juga memiliki sosial media. Mereka bisa jadi kekuatan komunikasi publik.

Keadaan memang sudah berubah. Teknologi merubah sejarah. Sekarang apapun bisa dikomunikasikan oleh siapapun. Semua orang punya kesempatan yang sama jadi wartawan.

Semua orang adalah media. Saringan itu ada di masing-masing orang. Bukan di institusi media. Sayangnya banyak orang tidak punya mekanisme menyaring gagasan dan informasi. Etika diabaikan. Medsos jadi ajang kegaduhan, keributan dan caci maki.

Ada yang cari cuan dari kekisruhan ini. Ada yang cari perhatian dan sensasi. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Kita bersyukur bisa menyaksikan perubahan-perubahan signifikan itu. Bersyukur dulu sering nulis di koran, sekarang nulis di medsos. Dulu pembaca yang kalau tidak setuju atau ingin protes harus juga lewat mekanisme media massa. Sekarang bisa langsung, bisa spontan, sekehendak hati. Bahkan boleh caci maki.

Saatnya untuk kembali pada posisi dimana masing-masing berdiri, sebuah peradaban manusia yang harus tetap terjaga. Sebagai masyarakat timur tentunya masih memiliki adat ketimuran sehingga tidak ada salahnya dalam melakukan berbagai kegiatan ada sebuah pertimbangan etika dan moral.

Selamat datang dalam memasuki masa kebebasan yang bebas tetapi ingat, harus yang bertanggung dan menggunakan adab sebagai pijakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan