MODAL KESUKSESAN ITU DATANG DARI APA YANG DIMILIKI SESEORANG

Bagikan ke :

Penulis : Andi Salim

GEMADIKA — Banyak yang ingin mencapai kesuksesan dan berharap agar tahapan yang dilaluinya dirasakan mudah tanpa ada halangan yang berarti. Padahal hanya dengan mengandalkan niat yang baik saja, hal itu belumlah cukup, sebab perjuangan tentang kesuksesan yang sering disebutkan diberbagai riwayat hidup dari mereka yang mengalami itu, bisa dibaca melalui berbagai penulisan tentang Biografi seorang tokoh yang ditulis oleh orang lain, atau pun autobiografi yang ditulis oleh dirinya sendiri untuk mengungkapkan sisi keberhasilan orang tersebut. Namun disayangkan bahwa setiap penulisan tentang itu, hanya menampilkan bagian luarnya saja. Artinya, bagaimana terungkapnya kehidupan masa kecil seseorang, apa yang dijalaninya, caranya menjalani proses, serta berbagai tahapan yang dilaluinya untuk menapaki tangga tangga demi menuju keberhasilannya tidak secara detail terungkapkan.

Bagian yang ditulis pun cenderung mengungkapkan hal-hal positif dari sifatnya yang baik-baik saja untuk diungkapkan terhadap tokoh yang diceritakan didalam buku tersebut. Bagaimana sifat sombong, congkak, keras kepala dan ingin menang sendiri adalah menjadi karakter yang tak jarang dimiliki seseorang dibalik kesuksesannya. Padahal keberhasilan seseorang belum tentu didapat dari caranya mejalani hidup diatas rel yang benar secara terus menerus. Sebab, tentu saja ada sifat licik, egois bahkan sifat congkak yang bisa saja dimilikinya dalam menggapai semua itu. Apalagi gaya hidup yang bergengsi yang sering diartikan sombong bisa saja dikaitkan dengan kemegahan, atau kata egois dan kejam yang tak jarang beriringan dengan suatu keagungan. Namun sifat-sifat itu seolah-olah disembunyikan begitu saja, sehingga sifat buruk semacam itu menjadi bagian yang dianggap tidak penting untuk diungkapkan.

Ada segelintir orang yang berhasil dengan capaian yang tinggi, namun tak jarang pula mereka memiliki sifat yang licik, sombong, angkuh dan keras kepala. Bahkan ada juga yang berhasil dari caranya berhemat hingga dijuluki sebagai orang yang sangat pelit dan sembelit untuk menolong orang disekitarnya yang membutuhkan pertolongan. Namun perjuangan dari mereka yang berhasil itu sering pula dipengaruhi oleh sikap menahan pengabdiannya dalam masa waktu yang lama, untuk tidak menukarnya dengan pamrih secara murah dan sembarangan. Momen-momen inilah yang semestinya menjadi titik pencerahan dalam suatu proses pengungkapan untuk bisa diketahui pembaca secara utuh sebagai rangkaian cerita hidup seseorang bagi siapa saja yang ingin meniru jejak keberhasilannya. Artinya, segala kemampuan dari diri seseorang tentu disertai dari apa yang dikerahkannya, termasuk sifat-sifat buruk dan sifat tamaknya sekalipun.

Bagaimana pun kuda yang berlari kencang tentu disertai dengan pecutan oleh penunggangnya. Seseorang yang sukses pun sering keluar dari keterpurukan hidup yang disebabkan oleh hinaan atau akibat harga dirinya yang terinjak. Bahkan tak jarang dari mereka pernah mendapat perlakuan dilecehkan orang lain hingga merasa dendam untuk bangkit guna membalikkan keadaan. serta mustahil pula bagi seorang penguasa yang ingin menduduki jabatannya berkali-kali jika tidak memiliki sifat tamak pada dirinya. Katakanlah Soeharto yang menjabat presiden Indonesia selama 32 tahun, atau sebut saja Ratu Elizabeth II yang berkuasa dalam masa pemerintahannya selama 71 tahun hingga merupakan masa pemerintahan terlama dalam sejarah Monarki Britania Raya. Belum lagi cerita tentang Tun Dr. Mahathir bin Mohamad yang menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia dari tahun 1981 sampai 2003 bahkan masih menduduki jabatan yang sama di tahun 2018-2020. Hal itu baru dari sisi ketamakan seseorang saja.

Lantas, bagaimana kita menilai jika Adolf Hitler yang mampu meraih kesuksesannya dalam memimpin Negara Jerman dengan kekejaman yang ditampakkannya sehingga dunia pun terpengaruh oleh sikap keras dan gaya kepemimpinannya yang serakah dan otoriter. Bahkan dirinya dianggap sebagai biang keladi atas perang dunia ke-II dengan sekutunya Italia dan Jepang. Dimana ketiga diktator ini yaitu, Adolf Hitler dari Jerman, Benito Mussolini dari Italia dan Kaisar Hirohito dari Jepang telah begitu banyak memakan korban manusia akibat ulah mereka yang nyata-nyata serakah akan kekuasaan dan prilakunya yang sadis pula. Dari gambaran itu, begitu jelas terlihat bahwa sifat-sifat yang sering dipersepsikan negatif oleh kalangan agama sesungguhnya menjadi instrumen untuk membangun perjuangan seseorang sebagai api semangat dalam membangun karakter kekuatan diri guna menundukkan berbagai persoalan hidup. Meski penggunaannya dibatasi, akan tetapi sifat-sifat negatif itu tentu tidak boleh dihilangkan begitu saja.

Kemiskinan adalah penghalang utama dalam meraih kebahagiaan. Meski laporan statistik tahun 2022 mencatatkan terjadinya perceraian sebanyak 448.126 kasus, dimana 63.41% atau setara dengan 284.169 kasus yang bersumber dari akibat perselisihan dan pertengkaran, dan sebanyak 24,75% atau setara dengan 110.939 kasus akibat ekonomi, serta akibat meninggalkan pasangan sebanyak 8,78% atau setara dengan 39.359 kasus. Dari rangking 3 besar yang menjadi alasan perceraian itu, jika dijumlahkan menjadi 96,94% atau setara dengan 434.413 kasus dari muara yang sama. Sebab, Tidakkah semuanya itu bisa ditarik kesimpulan bahwa motif kemiskinan menjadi penyulut berbagai indikator perselisihan dan pertengkaran, yang diakibatkan oleh faktor sulitnya ekonomi, sehingga menyebabkan antara satu dengan lainnya saling meninggalkan pasangan hidupnya. Dimana hal itu sebagai akibat penderitaan hidup yang dijalaninya dengan bersandar pada sikap yang pasrah serta berlandaskan kesabaran saja.

Kekeliruan menginterpretasikan kesabaran dan kepasrahan pada kondisi keadaan cenderung menyebabkan tumpulnya perjuangan hidup seseorang, bahkan tak jarang prilaku pasrah yang dikonotasikan untuk menerima situasi apa adanya menyebabkan seseorang menjadi lemah dan malas dalam meraih sesuatu. Seperti kata tega yang sering disematkan kepada seseorang untuk meninggalkan anak dan istrinya guna merantau ke wilayah lain agar menemukan perbaikan dan kesejahteraan hidup semestinya menjadi hal yang diartikan secara positif. Hidup pun harus senantiasa dijalani dengan kerja keras dengan kemampuan berpikir yang cerdas. Walau di imbangi dengan do’a kepada Tuhan sebagai penguat hati / mental sekiranya terdapat berbagai kendala dan rintangan, namun seseorang tidak boleh pula bergantung sepenuhnya pada hal-hal yang demikian sehingga mengenyampingkan kerja kerasnya. Sehingga sikap pasrah hanya digunakan setelah upaya perjuangan yang dilakukan secara optimal.

Istilah bersyukur pun harus dicermati secara bijak. Sebab bersyukur merupakan wujud ungkapan terima kasih seorang hamba atas pemberian Tuhan terhadap dirinya. Seseorang yang tidak bersyukur sering kali kehilangan fokus dan semangat, yang dapat menghalangi kemajuan dan pencapaian pribadi. Itulah beberapa bahaya akibat tidak bersyukur atas apa yang telah didapat. Karena itu penting untuk selalu mensyukuri segala hal yang telah kita miliki baik yang bersifat lahir maupun batin. Dari bijaknya seseorang mengambil manfaat atas nilai-nilai agama yang diyakininya, tentu tidak boleh menjadi kilas balik dalam melemahkan kemampuannya. Sebab agama hanya mengajarkan seseorang untuk menjadi sosok yang lembut dan tidak berlaku kejam, bermurah hati agar tidak menjadi tamak, memiliki kecepatan walau tetap bersabar, menjadi mulia dengan kasih sayang namun tetap sederhana dibalik kekayaan yang dimilikinya. Bahkan agama sesungguhnya mengajarkan agar menjadi tangan yang diatas bukan menjadi penadah yang papah.

Jika seseorang ingin mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya, tentu harus merasakan pahit getir untuk melalui berbagai proses demi tercapainya tujuan yang di cita-citakannya. Pengorbanan tenaga, pikiran bahkan perasaan bukan lagi bagian yang sepantasnya dikeluh kesahkan. Harga diri yang terinjak hingga dipermalukan adalah bagian yang harus dilalui. Sehingga tak jarang segalanya itu membutuhkan sedikit emosi, sedikit keserakahan, sedikit ketamakan, sedikit ego, sedikit sombong atau apapun demi mendapatkan kenaikan setahap demi setahap. Maka tak jarang orang yang menginginkan kesuksesan dalam karir, sering pula mengorbankan sesuatu yang menukarnya dengan kepentingan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik sifat-sifat yang semestinya dijauhi oleh karena dianggap negatif itu, ternyata sangat dibutuhkan sebagai api untuk mendorong seseorang dalam mencapai tujuannya. Toh menjadi tak heran manakala seorang pejabat atau konglomerat itu terlihat sombong, pemarah, egois dan kejam. Bahkan sering pula merugikan banyak orang.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan