Mari Memberanikan Diri Untuk Memperjelas Keadaan Dari Pihak Yang Mengaburkannya

Bagikan ke :

Jakarta, Rabu (3/5) gemadikatv.com — Memperbaiki keadaan yang terlanjur menjadi muara limbah dari kolektifitas kebencian bukanlah perkara mudah, sebab masing-masing pihak memberikan efek bagi keruhnya suasana sehingga untuk mengurainya kembali menjadi sangat memerlukan kehati-hatian, sebab jika tidak, bukannya persoalan menjadi terselesaikan, malah menjadi imbuhan baru bagi remuk redamnya masalah tersebut hingga semakin bias.

Efektifitas untuk menelaah persoalan dari keadaan mana yang terjadi pada kalangan masyarakat saat ini adalah dari hadir nuansa politik untuk saling mempengaruhi hingga mengambil sikap saling dukung mendukung demi memenangkan suatu kepentingan. Dari sana terbentuk keikutsertaan masyarakat pada barisan mana, serta harus seperti apa partisipasi kepesertaannya jika ingin masuk sebagai andil untuk memperjuangkan kepentingan yang digalang.

Harmonisasi yang selama ini diakui sebagai keindahan laksana padi yang menghijau dihamparan sawah, kini seakan menjadi gersang dan mengalami kekeringan yang tak kunjung usai. Semua pihak hanya mampu menggunjingkan akibat dari munculnya keadaan tanpa mau mengkoreksi sebab yang menjadi cikal bakal persoalan, sehingga menjadi sulit untuk menemukan benang merah permasalahannya, dan lebih mudah mempersoalkan pada apa yang sepatutnya dikambing hitamkan.

Jika ada kata atau ucapan yang salah, maka didatangkan sikap yang buruk sebagai responnya, lalu ditambahkan framing yang jelek, lantas disematkan fakta yang menyimpang, maka hal itu menjadi semakin kompleks dari imbuhan untuk memperunyam dan keadaannya semakin menjadi kacau, oleh karena semua pihak berada ditengah pusaran persoalan itu yang terlalu melekat dan amat dekat dari inti persoalan yang mendasarinya. Maka ego dari kesimpulan penilaian itu ditujukan pada hal yang subjektif. Sekiranya ditujukan kepada diri sendiri tentu makna dan akibatnya akan menampakkan hal yang berbeda tentunya.

Sesungguhnya kita sudah terbiasa melihat persoalan ini secara bias dan dibatasi pada dinding-dinding kepentingan yang berjarak pendek dan tidak objektif lagi pada sasaran yang ingin dinilai, padahal gunung yang tampak menawan itu hanya akan indah bila dilihat dari kejauhan dan visualisasi kita justru tertuju pada areal keseluruhannya, bukan pada objek satu tanaman hijau yang tertentu saja. Disanalah kita membutuhkan daya dukung pada suatu perspektif lain seumpama cuaca dan sudut pandang yang sesuai agar bagaimana menilai serta mendudukan masalah itu dengan memperhatikan faktor lain secara komprehensive.

Jika pada alur pemikiran dari mana radikalisme dan terorisme ini datang ketanah air, serta melihat banyak negara timur tengah yang porak poranda dari sulitnya memisahkan antara kepentingan agama dengan penegasan nasionalisme yang mempertahankan kebangsaannya, tentu kita tidak membiarkan hal itu berkembang, sehingga kita tidak dijejali keadaan yang dinilai dari perspektif benar dan salah sebagaimana yang disampaikan oleh mantan ketua MK bapak Jimly asshiddiqi, tetapi juga mengambil dari kata yang tak kalah mulianya yaitu baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas yang disematkan bagi siapapun untuk melihat hamparan persoalan.

Jika pada alur pemikiran dari mana radikalisme dan terorisme ini datang ketanah air, serta melihat banyak negara timur tengah yang porak poranda dari sulitnya memisahkan antara kepentingan agama dengan penegasan nasionalisme yang mempertahankan kebangsaannya, tentu kita tidak membiarkan hal itu berkembang, sehingga kita tidak dijejali keadaan yang dinilai dari perspektif benar dan salah sebagaimana yang disampaikan oleh mantan ketua MK bapak Prof. Jimly asshiddiqi.

Menurut beliau, kita juga harus mengambil dari kata yang tak kalah mulianya yaitu baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas yang disematkan bagi siapapun untuk melihat hamparan persoalan itu. Maka dari sana kita akan melakukan pertentangan padahal seperti apa masyarakat akan menilai, dan kemana posisi mereka akan diarahkan. Serta bagaimana dampak pada benturan kepentingan itu sehingga berkembang ditengah masyarakat baik saat ini, mau pun nanti jika terus dibiarkan.

Keberanian untuk mempertegas masalah ini harus hadir untuk memberikan alternatif terutama dari mereka yang duduk sebagai para intelektual dan penegak keadilan, bahwa janganlah demi salah satu agama negri ini dikandaskan kepada pemahaman bahwa kepentingan Nasionalisme menjadi faktor yang dinomor duakan bila dibandingkan dengan agama sebagai ruang privasi masyarakatnya. Padahal agama hanya akan didengar dan menjadi subur justru pada keadaan negara yang damai dan dapat dikendalikan dari kepentingan untuk menjaganya.

Maka sudah barang tentu netralitas penegakan hukum harus benar-benar presisi pada nuansa kebangsaan dan kebhinekaan yang telah diikatkan pada persatuan dan kesatuan Indonesia. Kita tidak boleh membiarkan ketimpangan pada pertimbangan benar dan salah, namun juga melihat persoalan itu pada sifat baik dan buruk serta faktor kepantasan dan kepatutan untuk memperoleh nilai keseluruhan dari persoalan bangsa ini kedepan. Sehingga tidak dengan mudah eksistensi negara ini dikalahkan oleh kepentingan apapun yang ingin merusaknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan