HADIRNYA PARA INTELEKTUAL TAK BERMORAL ATAU KEBERANIAN LIAR

Bagikan ke :

Hadirnya manusia-manusia pintar sejenis Rocky Gerung, Said didu, Prof. Rafly Harun dan yang lainnya, sebenarnya bisa dikatagorikan terlambat. Sebab dimasa reformasi semacam ini, seharusnya hadir sosok-sosok yang justru memiliki kemampuan untuk mengelaborasi dan mengkolaborasikan elemen bangsa yang selama ini terpecah belah pasca rezim otoriter Soeharto berkuasa selama 32 tahun lamanya. Di masa kekuasaan selama itu, banyak komponen dari strata politik yang dibungkam bahkan tak sedikit dibekukan, termasuk ladang pers yang menjadi kata dan telinga atas upaya rakyat dalam meraih informasi publik, oleh karena sikap penguasa dimasa itu selalu berfokus tentang bagaimana mengamankan kelanggengan atas berlangsungnya kekuasaannya secara terus menerus dimana rakyat menjadi objek yang diawasi secara kompleks.

Rezim otoriter selalu mengesankan dirinya sebagai pihak yang tidak memberikan peluang kompromi terhadap golongan manapun. Kalau pun ide dan gagasan masyarakat sering menjadi sasaran untuk secara praktis dipangkas dan sedapat mungkin berbagai saran dan pendapat walau bersumber dari komunitas rakyat disumbat, hal itu disebabkan bahwa hanya koridor dari aliran golongan elit mereka sajalah yang harus diteruskan sebagai sarana aktifitas rakyat. Maka, pada kondisi semacam inilah keberanian untuk mendobrak kebuntuan politik itu dibutuhkan. Sebab dari sistem politik demokrasi sajalah yang memungkinkan sarana keseimbangan antara harapan rakyat dan tegaknya aturan konstitusi yang membatasi sikap penguasa itu bisa ditegakkan. Namun, sudah barang tentu tantangannya tidak ringan bahkan boleh jadi nyawa seseorang atau kelompok pun dapat saja melayang.

Suatu pemerintahan otoriter akan menampakkan kekuasaan politiknya yang terkonsentrasi hanya pada satu kepemimpinan. Gaya kepemimpinannya memiliki kecenderungan untuk memaksakan kepatuhan rakyat secara mutlak. Maka tak heran jika di Indonesia banyak yang menilai bahwa kepemimpinan otoriter itu dirasakan terjadi di masa rezim Soeharto. Kepemimpinan otoriter yang tanpa kompromi itu semestinya disambut dengan sikap yang berbeda di era reformasi saat ini, dimana sikap pemerintah yang serba kompromi sekarang ini semestinya menjadi peluang bagi rakyat untuk membangun segalanya melalui ide dan gagasan yang dimilikinya agar dapat diaktualisasikan melalui kepesertaan masyarakat didalam penerapan good governance pemerintah yang tentu saja situasi ini berbeda dengan apa yang dirasakan rakyat di zaman orba masa lampau.

Rendahnya penerapan hukum yang berkeadilan, serta ketimpangan akan pemerataan dan kesetaraan menjadi persoalan tersendiri bagi banyak kalangan. Lebih celaka lagi, pemilu-pemilu yang pernah diselenggarakan dimasa orba lalu itu tak lebih dari sekedar rekayasa politik untuk penguatan dan pelestarian kekuasaan rezim otoriter Soeharto, dimana melalui sistem tiga partai yang pernah diselenggarakannya hanya terkonsentrasi sebagai pemecah suara rakyat. Kehadiran dan keikutsertaan dua partai lain dalam pemilu dimasa itu tidak lebih hanya sekadar pelengkap dan penderita pemilu belaka. Lantas, kemana para komentator politik yang saat ini hadir dengan berbagai narasi dan kritik pedas mereka ditengah uluran tangan pemerintah melalui Presidennya yang sengaja dikebiri oleh pembatasan kewenangannya agar preseden buruk dari rezim otoriter di masa lampau tidak terulang lagi.

Pada akhirnya, penggunaan pasal 28 sebagai dominasi kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, atau sebagainya sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang itu justru dirasakan telah begitu kebablasan pula. Bahkan wacana kebebasan itu sengaja dihembuskan sebagai inisiatif untuk melakukan people power dari sering hal itu ditiupkan oleh Amin Rais melalui serangkaian hasutannya guna mendorong penolakan atas berbagai kebijakan pemerintah dimana Presiden Jokowi justru sering diam oleh karena konsentrasinya yang lebih fokus menutupi celah ketertinggalan bangsa ini bahkan dari negeri jiran Indonesia sekalipun seperti terhadap Malaysia yang memiliki cadangan Devisa tahun 2023 mencapai UDD114,42 milyar dengan penduduknya 33,7 juta jiwa dan Singapura dengan cadangan devisanya USD 317,2 milyar berpenduduk hanya 5,5 juta jiwa. sedangkan Indonesia hanya USD 137,5 milyar dengan penduduknya 278 juta jiwa di tahun 2023 ini.

Sehingga, upaya kritik saat ini tak lebih sekedar membangun retorika demi membuyarkan konsentrasi pemerintah pada pengentasan kemiskinan untuk mencapai kesejahteraannya. Reaksi politik dari kalangan oposisi masa ini tak lebih sekedar menampakkan keberanian serta ajakan terhadap kemunduran negeri ini yang saat ini telah berada pada catur menuju koridor kemajuannya. Sebab ruang-ruang dialog yang menjadi pusat kritik pun dibangun untuk sekedar ajang pemilihan kata dari sedikit celah atas kerja-kerja pemerintah yang secara komprehensif belum terjamah dan bukan sebagai prioritas utama pula. Oleh karenanya, pandangan atau pendapat para parlemen jalanan itu seharusnya diabaikan oleh pemerintah termasuk dari perhatian masyarakat yang saat ini tertarik pada perdebatan dari apa yang sengaja mereka angkat kepermukaan. Pada titik inilah masyarakat harus berani menolak kehadiran para pahlawan temporer yang telah kehilangan momentumnya di era reformasi ini.

Sistem kapitalisme yang berkembang dimasa lampau tentu berdampak pada kepemimpinan Jokowi sekarang ini. akibatnya sentra-sentra ekonomi yang dikuasai mereka melalui konspirasi pengusaha dan kekuasaan rezim masa lampau tak lagi leluasa untuk memperoleh kemudahan dalam berbagai kesempatan guna melanjutkan apalagi mengembangkan cengkeramannya. Pergantian rezim yang pro rakyat tentu harus mereka upayakan agar terhenti oleh karena kesejahteraan rakyat adalah musuh utama bagi mereka dalam menggapai otorisasi kewenangan guna menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap sistem yang dikembangkannya melalui berbagai hal yang dibutuhkan rakyat. Maka tak heran, sekitanya Jokowi sering mendapat terpaan dan goncangan dari shaking destruction kebijakan sebagaimana UU Omnibus Law dan UU ketenagakerjaan yang dikomentari sebagai langkah pemerintah yang pro aseng dan asing.

Sebagai penutup. Melawan rezim otoriter sudah barang tentu didambakan rakyat, apalagi hadirnya sosok pemberani seperti Rocky Gerung, Amin Rais, AHY, Gatot Nurmantyo, Prof Rafly Harus, Rizal Ramli dan lain sebagainya memang sangat dibutuhkan bagi sebuah perubahan bangsa ini. Namun harus pula di ingat, menjual es di musim hujan bukanlah waktu yang tepat untuk mengambil sisi kemanfaatan dari apa yang diperjual belikan. Demikian pula keberadaan mereka saat ini yang terlihat begitu berani dan pandai dalam mengumbar retorika dan amarahnya, hingga mengajak masyarakat untuk melakukan people power yang sarat akan penghinaan terhadap kedudukan Presiden. Namun disisi yang berbeda, mereka justru menjadi Srigala yang sangat jinak bagi sebagian keluarga cendana sebagaimana disebut oleh kalangan dunia sebagai rezim otoriter yang memimpin Indonesia selama 32 tahun di masa lampau tersebut. Apakah itu diartikan mereka telah disumpal sehingga begitu bengisnya longlongannya saat ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

https://www.facebook.com/groups/402622497916418/?ref=share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan