Penulis : Andi Salim
GEMADIKA — Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyindir sikap DPR RI yang sampai saat ini masih belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Perampasan Aset dari sebuah Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset yang diperoleh seseorang sebagai akibat sebuah Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya. Sehingga RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara bagi pemerintah untuk dapat mengembalikan kerugian yang dideritanya sekiranya UU ini diberlakukan. RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010, namun hingga saat ini belum mengalami titik terangnya bahkan cenderung mengalami kondisi mati suri.
Ada banyak jenis kejahatan yang terjadi, mulai dari kejahatan oknum pejabat yang merugikan negara, pihak kroni kekuasaan yang melakukan kejahatan guna menguasai kekayaan negara, atau negara sendiri yang melakukan perampasan atas harta kekayaan milik rakyatnya, sebagaimana yang dialami Basuki Tjahaya Purnama yang telah mengalami kerugian atas sejumlah lahan akibat sikap arogansi pejabat negara, sebagaimana yang diungkapkannya. Bahkan banyak lagi kasus-kasus lainnya yang menjadi sulit diungkapkan sebagaimana buntunya penyelesaian beberapa kasus lama yang telah mengendap sehingga sulit terungkap oleh karena pelakunya pun telah meninggal dunia, atau penghalangan terhadap upaya tersebut mengalami jalan panjang akibat kroni-kroni yang dulu melakukan KKN, namun masih bercokol dalam percaturan politik nasional. Sehingga penulis ingin mengajak pembaca agar melihat persoalan ini dalam perspektif yang lebih kompleks dan bukan sekedar kepentingan pengembalian kerugian negara saja.
Implikasi serius atas berlakunya UU perampasan aset yang tentu nantinya akan membongkar tabir kejahatan masa lalu, bukan saja kejahatan terhadap tindak pidana korupsi namun kejahatan lain sepeti adanya perlakuan kolusi dan nepotisme yang menjerat penguasa masa lampau tersebut atas pembagian sejumlah tanah-tanah negara kepada kroni-kroni kekuasaan orde baru itu yang tentu akan berdampak luas dan berkonsekuensi guna menyeret banyak pihak pastinya. Pemikiran akan terbukanya peluang perampasan aset sebagai akibat maraknya kejahatan KKN hingga berlanjut di era reformasi sekalipun, pastinya akan mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah terdahulu. Apalagi hal itu pun terkait pula atas tidak berlakunya tanah-tanah ekspatriat yang disikapi melalui UU negara dari pemberlakuan UUPA no 5 tahun 1960. Dalam hal inilah gagasan untuk membuka peluang islah nasional menjadi penting, walau pada sisi lain masyarakat ingin agar kejahatan masa lalu tersebut terus diungkapkan oleh berbagai pihak yang tidak mendalami persoalan ini secara komprehensif.
Siapa yang sesungguhnya diuntungkan atas tersumbatnya pengesahan UU perampasan aset ini, bukankah semestinya partai-partai yang nyata-nyata bagian dari kekuasaan orde baru seperti Golkar dan pecahan partainya, katakanlah Gerindra, Demokrat dan Nasdem, dimana mereka lahir sejak era reformasi bergulir dan diketahui publik sebagai pecahan orde baru yang dahulu memiliki kedekatan dengan kekuasaan itu. Lantas mengapa mereka cenderung diam dan seolah-olah membiarkan tudingan masyarakat itu diarahkan kepada Megawati sebagaimana ungkapan yang disampaikan Bambang Pacul yang menyebutkan jika pengesahan RUU itu bisa terjadi sekiranya ketua umumnya memerintahkan dirinya. Secara tegas pun beliau mengatakan hanya menjalani perintah Ketua Umumnya saja. Lantas bagaimana sekiranya Megawati dengan nekadnya untuk memerintahkan barisan kader partainya di DPR-RI agar bersedia menandatangani pengesahan atas berlakunya UU perampasan aset ini.
meski diketahui akan berimplikasi pada percahan bangsa oleh karena gerombolan pelakunya masih menguasai aset-aset tersebut dan masih pula ikut mengendalikan suasana berbangsa dan bernegara melalui partai-partai sebagaimana penulis sebutkan diatas. Haruskah Megawati mengungkapkan jika koalisi partainya memiliki dosa-dosa besar agar masyarakat jangan lagi memilih partai tersebut. Bagaimana pun, Korupsi adalah perilaku yang dilakukan oleh pejabat, di mana hal itu secara tidak wajar dan dilakukan melalui cara-cara yang tidak sah, membuat diri mereka dan orang lain untuk menyalahgunakan kewenangannya. Korupsi adalah penyuapan, pemerasan, nepotisme, dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan demi kepentingan pribadi dan para kroninya. Sikap PDI Perjuangan yang diviralkan melalui pernyataan Bambang Pacul hingga berdampak pada dituding yang seolah-olah partainya melanggengkan tindakan Korupsi sebagaimana yang dituduhkan hingga berujung pada dugaan atas tidak bersedianya PDIP untuk menandatangani perampas hasil kejahatan mereka dari kerugian negara yang dilakukannya, tentu menjadi sumir dan sangat keliru.
Lantas mengapa masyarakat seolah-olah menggantungkan harapannya atas pengesahan UU perampasan aset ini dibalik banyaknya partai lain yang memiliki kewenangan yang sama dalam mendorong bagi lahirnya UU perampasan aset ini. Sejauh mana landasan pemikiran pemerintah yang telah menandatangani draft RUU atas perampasan aset ini pada Jumat tanggal 5 Mei 2023 dan langsung pula menyerahkannya ke DPR-RI serta sudah pula diterima oleh sekretariat DPR, sebagaimana penyataan tersebut yang dibenarkan oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin kepada wartawan pada Senin 8 Mei 2023. Sejauh mana keberanian pemerintah untuk membongkar berbagai kasus yang tidak saja berasal dari kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh para oknum kekuasaan atas pejabat pemerintah yang otoriter dahulu, dimana kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotismenya pun begitu sarat dan sulit untuk diungkapkan. Apalagi negara sekalipun telah banyak melakukan kejahatannya atas pengambilalihan secara paksa atas hak-hak kepemilikan pribadi rakyatnya.
Hal tersebut sebagaimana yang dialami oleh para pemilik peramasan tanah-tanah ekspatriat yang sebelumnya terjadi melalui tangan-tangan pejabatnya yang kotor dan berdarah. Oleh karenanya, jika pun Jokowi dengan gampangnya melihat persoalan ini secara dangkal dibalik anggapan publik atas dirinya yang sering disebut sebagai pembela kebenaran dan keadilan, sehingga tanda-tangannya atas pengesahan draft usulan RUU tersebut begitu mudah dibubuhinya, namun sesungguhnya beliau tidak menyadari adanya ancaman yang serius dibalik hal itu yang berimplikasi pada stabilitas nasional yang tentunya membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa ini pula. Apalagi sulitnya melaksanakan ajakan Islah Nasional dengan para pelaku Orde Baru yang selama ini telah diserukan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz ketika beliau menjabat, sehingga sebutan rekonsiliasi Nasional sepertinya menemui jalan terjal, dimana model ini pernah digunakan di Afrika Selatan melalui tokoh bangsanya Nelson Mandela guna menyelesaikan persoalan mereka.
Hal senada pun pernah diungkapkan oleh cendikiawan muslim Nurcholish Madjid dalam acara ceramah dan diskusi umum yang pada pokoknya menyerukan agar rekonsiliasi nasional ini bisa terwujud. Tentu islah yang dimaksudkan bukan untuk melegalkan harta negara yang telah dirampas, atas penguasa-penguasa beserta kroni-kroni dari rezim tersebut, melainkan adanya itikad baik untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah mereka rampas melalui cara-cara ilegal yang mereka lakukan. Penyalah gunaan kewenangan sering berdampak buruk terhadap penyelenggaraan sistem konstitusi di sebuah negara. Pidato Megawati yang menyiratkan bahwa penyalahgunaan hukum dan konstitusi besar kemungkinan akan melahirkan pemerintahan yang otoriter yang pada gilirannya justru menjadikan tindakan KKN akan semakin subur dan melekat pada diri pemerintah itu sendiri. Sikap kritis rakyat guna mengawal keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan terintegrasi pada keadilan dan kebenaran harus terus didorong sebagai wujud peran good Governance dari partisipasi masyarakat sesungguhnya.***