Dalam konteks pemilihan umum yang didasari pada praktek pemilihan terbuka, selalu saja dari setiap partai politik menampilkan sederet nama yang jumlahnya tidak sedikit. Hal itu demi menyerap suara sebanyak mungkin dari kepesertaan para caleg untuk memperoleh suara rakyat sekaligus menaikkan elektoral partai politiknya dalam memenangkan setiap pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Artinya, pada perhelatan setiap pesta rakyat ini, duel-duel ditingkat akar rumput semakin padat bahkan menjadi sesak untuk menciptakan dinamika politik baik secara internal partai itu sendiri yang menggunakan mekanisme struktural, mau pun persaingan antar partai yang tak jarang menciptakan pergesekan sosial, walau tidak menimbulkan konflik horizontal diantara mereka.
Ketegangan di tingkat internal yang acap kali dilakukan oleh para caleg guna memanfaatkan instrumen struktur partai untuk mendapatkan suaranya justru mendatangkan persaingan yang tidak sehat. Sehingga cara ini dianggap hanya menguntungkan bagi para caleg yang memiliki pengaruh kuat dari mekanisme politik terhadap kepesertaan mereka, oleh karena jumlah caleg tidak berbanding lurus dengan perolehan suara yang menjadi faktanya.
Sehingga tak jarang terjadi, di setiap dapil yang diperoleh partai peserta pemilu memasang jumlah caleg hingga 5 hingga 10 kali lipat dari kursi yang diperoleh mereka terhadap hasil pemilu sebelumnya. Tentu saja ini menjadi atmosfer yang kurang sedap di tingkat internal partai hingga bahkan menciptakan kebingungan diantara para pengurus partai baik di tingkat PAC mau pun rantingnya.
Lain lagi yang terjadi terhadap persaingan di wilayah eksternal partai. Pola saling memunculkan jumlah caleg melebihi kuota kursi yang diperebutkan, berdampak pada aksi perebutan zona kewilayahan guna mendominasi daerah atau kawasan tertentu agar aksi para caleg masing-masing dapat menekan perolehan suara partai lain dalam konteks merebut kursi dapil yang tersedia agar partainya menguasai zona tersebut yang selanjutnya menjadi delegasi wilayah itu untuk duduk di kursi legislatif sebagai pihak yang terpilih.
Maka tak jarang para caleg membangun komunitas sendiri sebagai loyalis mereka ditingkat akar rumput, baik melalui orang terdekatnya hingga menjangkau jaringan-jaringan yang dapat membantu mereka sebagai upaya mendapatkan suara diluar instrumen partai politik yang tersedia.
Fakta ini tentu saja berat dirasakan oleh para caleg yang tidak memiliki pengaruh, baik dari kalangan usahawan, maupun para pensiunan birokrasi yang saat ini mengikuti kontestasi pemilu, namun tidak memiliki pengaruh atas struktur partai politik yang mengusungnya sebagai caleg.
Maka, hal ini pula yang menginisiasi kehadiran Gerakan Toleransi Indonesia agar ikut menyediakan wadah sebagai etalase suara rakyat agar para caleg menemukan tambahan suara yang di inginkannya guna mendapatkan tambahan suara yang akan diperolehnya diluar instrumen kepartaian mereka.
Oleh karena, Gerakan Toleransi Indonesia memiliki irisan yang jelas dan tegas terhadap keberpihakan suara rakyat bagi para pemilik suara dari komunitas ini, untuk hadir sebagai komunitas Toleransi ke seluruh penjuru tanah air. Maka, baik dari kalangan vote nasionalisme, islam nusantara dan para non muslim didalamnya, atau mereka dari kalangan swing voter yang saat ini bertebaran dimana-mana, termasuk dari kalangan milenial yang menambah jumlah kepesertaan pemilih saat ini.
Komponen diatas akan menjadi target bagi keberadaan relawan ARTI sebagai wadah pemilik suara rakyat sekaligus mencurahkan aspirasi mereka kearah politik dan partai politik mana yang mereka kehendaki. Termasuk terhadap sosok individu dari para caleg yang di inginkannya tanpa harus menjadi anggota partai politik manapun.
Tentu saja berbagai dukungan yang bersifat edukatif akan di sampaikan demi memperjelas pada penegasan upaya Gerakan Toleransi Indonesia dalam hal melakukan dampak penerapan sikap bertoleransi yang baik ditengah masyarakat pada akhirnya.Melalui pembentukan relawan ARTI ini, diharapkan agar masyarakat lebih banyak menyalurkan aspirasi suara politiknya yang sesuai dengan garis perjuangan Gerakan Toleransi Indonesia untuk mendapatkan duta-duta Toleransi yang duduk di perlemen dan para penguasa daerah.
Hingga akhirnya ikut mendudukkan seorang kepala daerah bahkan Presiden sekalipun demi tegak lurus terhadap sikap berbangsa dan bertanah air yang sesuai dengan iklim kebhinekaan yang menjadi fakta atas bangsa ini. Sebab bagaimana pun, kita harus menjaga kondusifitas sekaligus keberpihakan terhadap mereka yang mencintai persatuan dan persatuan dibalik maraknya politik identitas yang memecahbelah ikatan keberagaman dan persatuan yang telah digagas founding father terdahulu atas bangsa dan negara ini.
Kehadiran ARTI memang baru dimulai dan sengaja penulis sampaikan selaku penggagas kehadirannya agar memunculkan dampak politik yang kuat kearah legitimasi demokrasi yang dibenarkan namun keberadaannya tetap dalam koridor konstitusi yang diharapkan.
Dukungan digitalisasi dari modernitas berpolitik yang akan melengkapi perjuangan ini adalah sebagai upaya bagi sedikit kemampuan strategi udara yang akan dilakukan relawan ARTI dalam konteks merespon media sosial dan media online yang saat ini merasuki setiap generasi bangsa. Termasuk pentingnya pembentukan struktur relawan ditingkat akar rumput guna menggenapi jalur darat yang diperlukan sebagai upaya yang landed ditengah masyarakat. Tentu saja hal ini akan menjadi kenyataan yang dapat dilihat sebagai fakta dari perjuangan Gerakan Toleransi Indonesia yang nantinya akan di terapkan.
Pembentukkan struktur relawan, gagasan dan ide pergerakan, penentuan target dan sasaran strategis serta perencanaan dan Program kerja, termasuk sumber pembiayaan dan time table, (Schedule kerja), adalah sedikit dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Pembangunan infrastruktur head office guna mem-broadcast program visi dan misi ARTI, Pembuatan Tim Media Production seperti Podcast, Video konten dan spot video sebagai sarana promosi dan penyebaran informasi hanyalah permulaan yang akan dijalankan Relawan ARTI ini nantinya.
Pada akhirnya, Relawan ARTI akan menjadi jawaban bagi para caleg dalam memperoleh suara lain diluar mekanisme partai, sekaligus menjadi mereka sebagai duta Toleransi yang terikat kedalam perjuangan Gerakan Toleransi Indonesia dimasa depan. Sehingga siapa pun yang pesimis terhadap kehadirannya, tentu akan merugikan dirinya sendiri.
Semoga tulisan ini bermanfaat.