Penulis : Andi Salim
GEMADIKA — Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memasuki tahun politik, sejauh mana situasi politik mempengaruhi kinerja pemerintah dari masa ke masa, bagaimana sebenarnya situasi ini seharusnya disikapi oleh seorang Presiden ketika memasuki gelombang tahun politik agar tidak sekedar membiarkan dan berpangku tangan pada keadaan dimana para menterinya bahkan para menko sekalipun larut terhadap fluktuasi partisipasi politik atas duduknya para perwakilan partai-partai politik yang masuk kedalam kabinet pemerintah melalui koalisi yang terbentuk. Dampaknya, bukan hal yang aneh ketika didapati bahwa turunnya para menteri ketengah masyarakat pun sarat akan nuansa ajakan dukung-mendukung, sehingga ketajaman mereka terhadap penyelesaian persoalan sektor yang ditanganinya tidak lagi menjadi fokus dari yang semestinya diselesaikan.
Kursi kekuasaan Jokowi tidak lagi lebih dari satu tahun setengah sejak hari ini. Target pencapaiannya untuk menciptakan pijakan kekokohan ekonomi bangsa belum mutlak sepenuhnya bisa dianggap sebagai kinerja yang aman hingga masa berakhirnya beliau sebagai Presiden. Sebab ketersediaan infrastruktur serta pembangunan lain guna memfasilitasi berbagai aktifitas masyarakat masih jauh panggang dari apinya. Sebut saja pemanfaatan atas penggunaan jalan tol yang telah terbangun hingga ribuan kilometer, atau pembangunan bandara dan dermaga yang saat ini pun belum mencapai optimalisasi penggunaannya sebagai sarana yang padat aktifitas, termasuk waduk dan embung yang telah banyak tersedia, apakah sudah berimbas kepada hasil pertanian hingga hal itu bisa di lihat dari naiknya pendapatan hasil sektor pertanian nasional.
Dimana ketergantungan import khususnya kedelai dan produk pertanian lainnya. Bahkan berdasarkan data Badan Pangan Nasional (NFA), pada Maret-Mei 2023, pemerintah berencana mengimpor beras sebanyak 500.000 ton, jagung 527.241 ton, kedelai 746.956 ton, bawang putih 190.325 ton, daging sapi 89.054 ton, dan gula konsumsi 448.550 ton. Ini membuktikan bahwa kilas balik atas berbagai ketersediaan sarana dan prasarana yang terbangun belum sepenuhnya meraih kondisi sebagaimana yang diharapkan. Dibalik itu, komponen keterpaduan strategis dalam upaya menghentikan ketergantungan import masih belum terlihat sedikit pun. Termasuk pada prospek baru dengan berbagai terobosan yang diciptakan, seperti program urban farming yang belum terlihat dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional.
Smart Agriculture yang dicanangkan sebagai sistem pertanian cerdas yang taktis dan strategis pun tidak serta merta menciptakan petani yang smart farmer. Padahal dari sistem ini sesungguhnya dibekali pada kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dan inovasi baru walau pada sisi yang berbeda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Indonesia semestinya menjadi faktor penunjang untuk mewujudkan itu semua. Namun keberadaan mereka justru menjadi tidak jelas terhadap kontribusi yang selama ini mendompleng beban APBN negara untuk menimbulkan dampak agar kegiatan bertani menjadi lebih efektif dan efisien. Smart Agriculture semestinya menjadi solusi program untuk meningkatkan produktifitas guna mencapai ketahanan pangan melalui teknologi tinggi yang dimilikinya.
Sekelumit permasalahan diatas semakin dikacaukan oleh surutnya kinerja pemerintah yang saat ini memasuki tahun politik hingga penghujung masa jokowi pun dipertanyakan. Tingkat kepuasan publik yang tinggi yang terlihat mencapai 83 persen sebagaimana pengumuman survey LSI tidak serta merta presisi terhadap detail realitas pembangunan di lapangan. Tak jarang pujian dilontarkan justru hanya karena penampilan figur sentralnya semata. Artinya, masyarakat hanya melihat Jokowi sebagai pekerja keras, namun efek domino atas realisasi pencapaian berbagai sektor belum tentu menampakkan kesesuaian terhadap fakta yang dapat dipaparkan guna menelisik keberhasilan dari berbagai sektor yang diemban oleh para menterinya. Sebut saja sektor pertanian sebagaimana diatas, sektor Komunikasi dan informatika yang baru-baru ini justru dihempaskan oleh pembajakan anggaran negara, serta sektor lainnya yang semakin masif untuk diungkapkan.
Bahkan dalam persoalan pembajakan anggaran negara ini, hal yang mencengangkan pun terjadi dari portofolio kementerian keuangan selaku bendahara negara. Kasus impor emas di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bernilai Rp 189 triliun belum melintasi meja peradilan walau sudah dilakukan langkah hukum untuk hal itu. Serangkaian permasalahan tersebut dapat saja dijadikan sandera politik atas krisis kepercayaan masyarakat melalui gugatan publik agar pemerintah melakukan Shut down sebagaimana yang biasa terjadi di pemerintahan Amerika Serikat dalam melakukan penutupan pemerintahan pada situasi ketika Kongres gagal menyepakati anggaran yang diperlukan untuk operasi pemerintahannya. Hal yang sama pun bisa saja dilakukan terhadap pemerintahan saat ini. Atau paling tidak, Jokowi harus melakukan reshuffle kabinet bagi para menterinya.
Dimana mereka saat ini menjadi disibukkan untuk ikut pada aktifitas penggalangan dirinya sebagai calon-calon Presiden dan Wakil Presiden termasuk upaya menggalang potensi koalisi partai dari posisi mereka selaku ketua umum partai yang dijabat oleh mereka. Tidakkah ini pun termasuk pembajakan keuangan negara yang secara legal masuk sebagai instrumen gaji dan tunjangan jabatan yang di embannya, namun disisi lain mereka tidak bekerja secara efektif sebagai pihak yang menikmati pajak rakyat tersebut dari berbagai fasilitas yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal ini sama sekali dianggap bertentangan dengan kisah seorang khalifah islam yang bernama Umar bin Abdul Aziz yang suatu ketika sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya, namun tiba-tiba putranya masuk ke ruang kerjanya dan bermaksud hendak membicarakan sesuatu.
Dimana dengan seketika, sontak saja khalifah umar mematikan lampu penerang di atas meja kerjanya hingga suasana ruangan menjadi gelap. Putranya pun bertanya : “Kenapa ayah memadamkan lampu itu?” tanya putranya yang merasa heran. Maka dijawabnya : “Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan pun juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga,” jelas Umar ketika itu. Cerita diatas tentu harus menjadi landasan hikmah bahwa Jokowi harus menerapkan sikap empati terhadap penerapan amanah secara ketat pada jajaran para menterinya. Sebab pertanggungjawaban tidak semata-mata dimintai atas sidang paripurna atau sidang istimewa sebagai ukuran kredibilitas dirinya, namun diwaktu yang berbeda, sidang tertinggi atas kedaulatannya akan dipertanyakan diakhirat kelak nantinya terhadap orang-orang yang saat ini dipilih melalui hak prerogatif yang dimilikinya dari fungsi untuk keperluan apa mereka sesungguhnya diangkat.)***