Penulis : Andi Salim
Ada tiga jurang yang sering bisa diukur terhadap seorang pria, biasanya 3 hal tersebut berkisar Harta, Tahta dan wanita. Dimana Harta adalah segala yang berhubungan dengan kebendaan, tahta adalah segala yang berkaitan dengan kekuasaan dan wanita adalah segala yang berkaitan dengan syahwat dan hasrat pada lawan jenisnya yakni wanita. Penulis mencoba menyandingkan 3 perkara ini kepada diri Jokowi selaku Presiden. Tentu saja para pembaca tidak perlu Baperan yang barangkali berbeda pendapat dengan opini penulisan ini. Sebab tujuan penulisan hanya melakukan proses penyandingan untuk mengukur seberapa tinggi derajat keteguhan seorang pria dibalik berbagai aspek yang ternyata mempengaruhi dirinya. Boleh jadi seseorang tidak tertarik untuk melakukan korupsi oleh karena tidak suka menumpuk harta, namun jika disuguhkan wanita malah dirinya jatuh tersungkur, Atau seseorang itu terlihat lebih haus akan kewenangan sehingga membangun dinasti politik guna melanggengkan dominasi kekuasaannya.
Dalam pertarungan sebuah kontestasi, kita sering mendahulukan kesiapan diri untuk sebaik mungkin guna memastikan sebuah kemenangan. Termasuk mempersiapkan faktor pertahanan diri dari serangan lawan. Demikian pula dalam pertarungan politik kekuasaan, setiap pelaku politik dan segenap partai berlomba-lomba membangun jaringan infrastruktur serta merencanakan grand design guna menetapkan pemetaan pundi-pundi kemenangannya. Walau pun segalanya telah matang dipersiapkan, namun bagian yang tak kalah pentingnya adalah membaca situasi lawan politik yang menyita fokus keutamaannya. Sebab seringnya seorang petarung mengalami kekalahan hanya karena kurangnya pengetahuan dalam membaca posisi kekuatan lawan, baik menelaah faktor keunggulannya atau pun mengetahui kelemahannya. Salah satu kerumitan yang muncul di ajang ini adalah setiap petarung memiliki kelebihannya yang berbeda-beda, bahkan tidak jarang bertolak belakang dengan kemampuan yang dimiliki seorang penantang.
Sering kali, dalam hidup ini kita dihadapkan pada pertimbangan dan terjebak dalam keputusan untuk memilih pada pilihan yang sulit, dimana Masing-masing keputusan ini akan memberikan dampak yang berbeda-beda. Demikian pula ketika seseorang dihadapkan pada pilihan antara membangun kecerdasan dan wawasan untuk memperkuat SDM bagi kepedulian akan kedaulatan negara yang harus dikawal dengan kepentingan untuk mendatangkan kesejahteraan rakyat. Keberadaan dan eksistensi partai politik pun memang tidak bisa dipungkiri sebab dengan prinsip-prinsip ideology serta melalui visi dan misinya, baik secara jangka panjang atau jangka pendek, hal itu akan ditujukan untuk menciptakan peluang kesejahteraan bagi masyarakat luas. Tentu saja pada point ini akan bertentangan dengan keinginan sebagian rakyat yang notabenenya lebih mementingkan SDM sebagai strategi jangka panjangnya. Dimana faktor terpenuhinya kebutuhan perut merupakan hal yang diutamakan oleh sebagian besar masyarakat.
Pilihan antara mendahulukan kecerdasan otak dan pemenuhan kebutuhan perut menjadi situasi yang harus direspon secara bijak, hal ini demi mendapatkan sinergitas antara masyarakat dengan partai politiknya. Bagi partai yang berbasis nasionalis hingga saat ini pun mereka masih saja terlihat sibuk mengisi wawasan dan ideology partai terhadap konstituennya didaerah, padahal dari sisi yang lain persoalan kesejahteraan masyarakat pada masa kini sudah begitu mendesak untuk dituntaskan. Dibalik itu, rakyat pun tidak lagi bisa bersabar atas sepak terjang partai politik berbasis nasionalis yang terkesan bungkam pada masalah kesejahteraan masyarakat ini hingga terkesan wacana yang tak berkesudahan. Maka tidak heran pula jika terjadi pergeseran pilihan masyarakat yang semakin tertarik untuk menerima bantuan usaha kemandirian rakyat sebagai strategi pragmatisme melalui janji-janji kampanye partai lain, meskipun hal itu tidak menyelesaikan masalah mereka seutuhnya.
Bagaimana pun partai politik menjadi sarana yang amat penting dalam konteks hukum konstitusi. Oleh karena struktur suatu negara yang dibedakan atas dua pembidangan yakni, suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Keduanya memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Sekalipun keduanya memiliki fungsi perbedaan yang nyata, tetapi keduanya memiliki peran yang sama pentingnya. Suprastruktur dan infrastruktur politik memiliki keterkaitan dan keterikatan yang erat, dimana suprastruktur politik mampu mengatur segala hal dalam infrastruktur demi tercapainya tujuan infrastruktur politik itu sendiri. Suprastruktur politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan alat kelengkapan negara, yang mana alat kelengkapan negara tersebut mencakup kedudukan, kekuasaan, wewenang, tugas-tugas pembentukan dan keterkaitan antar seluruh kelembagaan negara tersebut. Sementara, infrastruktur politik merupakan komponen kekuatan politik dalam masyarakat yang turut berpartisipasi secara aktif mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Posisi infrastruktur politik yang demikian luas, dimana didalamnya terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan baik kalangan swasta, LSM dan pengusaha atau buruh, serta peran media sebagai alat kontrol jalannya suatu pemerintahan. Sehingga mau tidak mau, kondisi ini menjadikan infrastruktur politik menjadi alat yang di inginkan oleh siapa saja yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tersebut. Penguasaan partai politik dan media massa pun menjadi bagian yang acapkali berusaha untuk dikuasai oleh segelintir orang. Bahkan dalam beberapa peristiwa, dua penguasa bidang ini selalu memainkan peran yang sangat ditakuti dan dikhawatirkan di banyak negara. Hingga tak jarang madia yang merupakan sumber pemberitaan mendapat perlakuan yang keras diberbagai pemerintah yang berkuasa. Termasuk partai politik yang memposisikan dirinya sebagai oposisi. Keadaan ini pun dialami oleh beberapa media masa dan partai politik tanah air khususnya dimasa orde baru dahulu.
Kekhawatiran penguasa di masa rezim orba menyebabkan munculnya serangan kekantor PDI dimana kasus tragedi kuda tuli ini terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 dengan memakan korban lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang lainnya hilang. Pengambilan alihan partai politik yang paksakan dari tangan Gusdur selaku pendiri partai PKB sebagaimana yang dinyatakannya sebagai kasus pencurian sebuah partai politik. Bahkan banyak pula kasus-kasus perpecahan yang terjadi di tengah internal partai politik seperti Hanura, PPP, PAN, dan lainnya, namun hal itu disinyalir adanya campur tangan pemerintah dalam berbagai peristiwa yang berakibat terjadinya kerusuhan di internal partainya masing-masing. Selain itu, adanya fakta dari beberapa pengusaha media yang mendirikan partai politik seperti Surya Paloh pemilik metroTv yang mendirikan partai Nasdem, Hary Tanoesudibyo pemilik MNC Group yang mendirikan partai Perindo, hal ini mempertegas betapa menggiurkannya infrastruktur politik ini sekiranya bisa dikuasai.
Kembali ke laptop. Jika Jokowi yang menjalankan jabatannya secara amanah, serta tidak pula memiliki kelemahan sebagai sosok yang mata keranjang, dan tidak pula menyukai harta yang berlimpah untuk didapatnya melalui perbuatan korupsi dari besarnya kewenangan yang dimilikinya. Namun pada kesempatan yang berbeda, beliau tampak bersikap aneh terhadap karir politik dari ketiga anak dan menantunya yang saat ini menjabat Walikota Medan. Apalagi terhadap Kaesang yang saat ini duduk sebagai Ketua Umum partai PSI. Tidakkah menjadi Ketua Umum partai menjadi dambaan segelintir orang sebagaimana yang penulis sampaikan diatas. Dalam persoalan kejujuran, sifat yang sabar, menampakkan sisi keikhlasan terhadap apa yang ditargetkannya demi kesejahteraan rakyat, penulis harus perlu belajar dari dirinya. Namun pada sisi menjauhkan tangan-tangan putra putrinya agar tidak mendekati proyek pemerintah pun begitu terasa disiplin dalam menjaga kemuliaannya. Namun bagaimana dengan yang satu ini, apakah jokowi lebih tertarik untuk mendapatkan partai politik.)***