MENGAPA PRESIDEN BEGITU MUDAH DIHINA DAN DICACI MAKI LAWANNYA

Bagikan ke :

GEMADIKA — Banyak yang ingin menonjol hingga tak sedikit orang yang menjadi pahlawan di bidangnya masing-masing, bahkan banyak pula yang lompat pagar untuk mengomentari persoalan-persoalan lain meskipun bukan ranah yang digeluti atau setidaknya memiliki sedikit penguasaan dibidang tersebut. Apalagi mereka yang melintasi masa orde baru dan beranjak ke era reformasi yang acapkali terlihat ingin menonjol hingga bersuara lantang dan keras. Bagaikan euforia kemerdekaan dari segala tekanan yang selama berpuluh-puluh tahun dirasakan, ekspresi kebebasan itu begitu terkesan berlebihan dan tak lagi memiliki batas kepatutan. Jika sebelum tahun 1998 kondisi masyarakat nampak begitu senyap oleh karena segalanya dipaksakan untuk diam hingga tak seorangpun berani bersuara keras dan lantang, apalagi mengkritik pemerintah bila tak memiliki dasar, baik secara data atau pun fakta, sudah bisa dipastikan orang tersebut dalam masalah besar yang bisa saja kehilangan nyawanya.

Sedikitnya terdapat tiga golongan yang merubah keadaan akibat kondisi peralihan dari orde baru ke era reformasi. Pertama, golongan para elit yang ingin mengambil kesempatan untuk menduduki kekuasaan sekaligus mengamankan jalur pengendalian politik pasca terlepas dari orde baru. Kedua, golongan tengah yang ingin ambil bagian guna ikut menjadi faktor penentu terhadap longgarnya kekuasaan akibat berbagai aksi demonstrasi yang berhasil menurunkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Ketiga, gejolak yang terjadi di tengah masyarakat sebagai arus bawah yang terlepas dari tatanan pengendalian aturan dan peraturan pemerintahan orba yang selama ini dirasakan mengekang aktifitasnya. Namun, bagaimana pun kerusuhan besar yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 itu menjadi catatan kelam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, selain menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, momentum ini pun menjadi titik tolak perubahan besar yang menjadikan Indonesia seperti sekarang ini.

Meskipun penyebab jatuhnya rezim orde baru lebih di akibatkan oleh krisis finansial Asia atau krisis moneter tahun 1997 hingga pemerintah indonesia mengalami gagal bayar atas pinjaman Utang Luar Negeri terhadap lembaga keuangan IMF waktu itu. Namun, pihak-pihak diatas seolah-olah mendapatkan peluang untuk menggantikan kekuasaan pemerintah walau tidak mendapatkan kejelasan kepada siapa pemerintahan itu akan diestafetkan. Sebab BJ Habibie yang berposisi sebagai wakil presiden ketika itu, hanya ditunjuk untuk melaksanakan masa transisi selaku presiden ke tiga RI guna mengisi kekosongan kekuasaan pasca pengunduran diri Soeharto. Baru setelahnya, Indonesia berhasil mendapatkan presiden dari hasil penetapan MPR RI yang mendudukkan Abdurahman Wahid / Gusdur sebagai presiden ke empat, itu pun tak berlangsung lama dengan masa jabatannya sejak 1999 hingga 2001 saja, oleh karena dijatuhkan pula melalui proses impeachment ditengah masa kepemimpinannya.

Akan tetapi jika disimak lebih jauh, sebenarnya masyarakat Indonesia lebih sesuai terhadap gaya kepemimpinan sebagaimana yang diterapkan orde baru yang lebih represif untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat terhadap suasana berbangsa dan bernegara, bila dibandingkan dengan suasana kebebasan saat ini yang dirasakan kebablasan hingga terkesan bar-bar, bahkan terlihat begitu sangarnya menghina dan mencaci maki presiden dibalik upaya dari segelintir orang yang menghasut dan mengadu domba masyarakat dengan tujuan memecah-belah bangsa ini, sekalipun terpilihnya presiden itu melalui proses pemilihan yang demokratis, khususnya pasca pemilihan secara langsung sejak 2004 hingga sekarang. Pada sistem pemerintahan yang demokratis bisa dirasakan jika trias politika sebagai pilar kewenangan kekuasaan negara menjadi saling mengikis dan melemahkan satu sama lainnya. Sehingga penegakkan keadilan pun menjadi sulit diperoleh, oleh karena tidak terdapatnya kekuasaan absolut yang berada di tangan satu pihak.

Peralihan terhadap era reformasi yang semestinya memperkuat posisi legislatif dalam tatanan demokrasi yang mana lembaga ini selalu dianggap sebagai pihak pemberi stample atas segala kebijakan orba, kini justru berkembang kepada suburnya aksi parlemen jalanan yang dilakukan oleh segelintir individu dan kelompok radikal yang dengan sengaja mengambil hak-hak konstitusi mereka terhadap penggunaan pasal 28E untuk mendapatkan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat yang semestinya berkedudukan sebagai eksepsional, namun dirasakan menindih suara mayoritas rakyat yang secara kolektif kolegial dan legal dalam mewakilkan suara mereka untuk memenangkan presiden yang di inginkannya melalui proses pelaksanaan pemilu yang jurdil sebagai koridor yang sah dan diakui konstitusi pula. Pada sisi inilah presiden sebagai kepala negara harus mampu menunjukkan dominasinya atas semua lembaga tinggi negara untuk menjaga aturan konstitusi itu agar tegak dan terjaga.

Kedudukan Presiden yang sering disebutkan sebagai kepala pemerintahan guna mengatur jalannya pelaksanaan eksekutif serta hanya melekat terhadap sektor yang dibawahinya saja, justru dimanfaatkan oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai parlemen jalanan, sehingga dengan label seperti itu, seolah-olah mereka memiliki derajat yang sejajar sekaligus tidak tersentuh oleh hukum serta menjadi bagian yang terpisah dari kewenangan Presiden bisa bertindak secara represif dan absolut terhadap pihak-pihak yang melampaui batas tersebut. Sekalipun pada pelaksanaannya masih dalam kepatutan hukum yang terukur. Pemahaman masyarakat awam yang mengibaratkan negara jika di ibaratkan perusahaan, tentu terdiri shareholder selaku pemegang saham, sedangkan pengendalinya berstatus board of director sebagai eksekutifnya. Ketidakjelasan hal semacam ini sering membingungkan rakyat oleh karena sulitnya melihat batasan kewenangan dari Lembaga negara yang meliputi MPR, DPR, MA, MK dan BPK, terhadap kedudukan presiden yang turut disebut sebagai kepala negara.

Tak sedikit pula Keppres atau Perppu yang dengan mudahnya dibatalkan oleh lembaga tinggi negara tersebut, apalagi sebatas Kepmen dan Permen yang dianggap bertentangan dengan hukum atas penafsiran hukum dari sidang-sidang Pleno atas kewenangan status kelembagaan yang mereka lakukan. Banyaknya lembaga tinggi yang bersifat independen pun turut menyumbang lemahnya kewenangan Presiden, padahal keberadaan kepala negara semestinya bukan pada konteks melemahkan atau memperkuat kekuasaan atas lembaga Kepresidenan, namun semestinya lebih menitik beratkan pada keseimbangan berlakunya hukum secara tegas disemua level dan tingkatan. Preseden orde baru menjadikan kewenangan presiden hingga dipangkas sedemikian rupa untuk tidak lagi bersifat otoriter terhadap rakyatnya. Namun, era reformasi pun tidak diartikan bahwa jabatan presiden sebagai tempatnya untuk mengarahkan fitnah, hinaan, caci maki yang diwujudkan melalui demonstrasi yang anarkis sehingga menjatuhkan wibawa seorang Presiden.

Pentingnya marwah presiden ini dijaga sebagaimana lembaga tinggi negara lainnya, oleh karena tidak adanya kejelasan sebagaimana yang dipertanyakan oleh pembaca sebuah tajuk berjudul “Kedudukan lembaga negara dalam suatu negara” dimuat oleh hukum.bunghatta.ac.id yang belum memiliki kejelasan atas lembaga negara yang diatur pada tatacara pengangkatan dan kewenangannya berdasarkan amanat yang diberikan oleh UUD, dengan posisi Kepresidenan selaku lembaga negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kepala negara adalah wakil tertinggi dari sebuah negara seperti republik, monarki, federasi, persekutuan atau bentuk-bentuk lainnya. Kepala negara mempunyai tanggung jawab dan hak politis yang ditetapkan sesuai dengan konstitusi sebuah negara. Dalam teori yang diterapkan oleh negara lain, terdapat istilah yang merujuk pada pengertian State organ yang status dan kewenangannya diatur oleh konstitusi, sedangkan Konstitusional organ adalah organ tertinggi yang disebut Bundestag, dimana Kepala Negara itu dipilih langsung oleh rakyatnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner Iklan