GEMADIKA – Tentu awalnya saya kaget membaca berita Budiman Sudjatmiko (BS) mendatangi Prabowo. Tidak ada angin tidak ada hujan, ini silent movement, pikir saya. Tapi kenapa dipublish? Tentu juga pasti ada maksud dan tujuannya. Kita tidak bisa sekadar hitam putih melihat fakta (peristiwa) politik. Namun demikian untuk menganalisa secara komprehensif, kita tidak bisa sekadar mengandalkan intuisi apalagi emosi.
Seperti yang bisa diduga, dunia persilatan terutama di medsos menjadi heboh. Para spekulan bermunculan menghadirkan asumsi dan perkiraan bahkan sampai berhalusinasi (kebablasan mengarangnya). Jelas saja publik bertanya kenapa? Ngapain? Bukankah BS memiliki story’ yang kelam dengan Prabowo terkait rekan-rekan aktivis 98? Bukankah BS juga salah satu kader loyal PDIP yang sudah merekom Ganjar sebagai kandidat capres?
Ini memang membingungkan. Bagi saya semakin aneh ya semakin menarik buat dikulik. Jujur, begitu mengetahui hal tersebut, saya segera menghubungi BS melalui jalur pribadi wa (chat). Saya biasa berdiskusi dengan BS melalui sambungan internet. Tidak seperti biasa, hingga saya menulis artikel ini, chatingan saya belum dibalas. Saya hanya mendapat informasi tipis-tipis dari orang dekat BS. Saya sudah seperti Intel melakukan pelacakan.
Hal ini memang tidak lepas dari insting saya sebagai seorang jurnalis yang kerap mengendus setiap sesuatu yang patut ditelusuri. Dalam dunia kemediaan terutama jurnalistik investigatif, juga dipelajari untuk tidak sekadar memotret peristiwa ataupun merekam pernyataan (dari sumber valid sekalipun), jangan percaya. Fakta berupa kejadian dan informasi wajib dicroscek kebenarannya dengan mencari fakta-fakta lain.
Kami jurnalis percaya bahwa fakta dan statemen seorang politisi adalah kebalikannya dari yang terlihat publik. Atau, bisa pula politisi menampilkan keterbalikannya kepada publik agar mereka masih bisa leluasa melakukan manuver politik lainnya yang tidak diduga publik. Politik juga kerap menghadirkan yang tersirat ketimbang yang tersurat. Namun yang tersirat memang sengaja tidak mungkin dimunculkan kepada publik.
Jadi, kunjungan BS ke Prabowo bukanlah sekadar kunjungan. Tidak pula sekadar dipublish untuk diketahui publik. Terlalu polos sekali jika demikian. Namun sepengetahuan saya, BS jarang sekali melakukan gimik ataupun terlibat dalam gimik politik. Dia bukan tipe orang yang lihai melakukan drama (saya kenal sejak 1989, hari pertama menjadi mahasiswa). Seperti ketika dia harus pindah dapil ke Jatim, dia selalu blak-blakan. Kecuali memang BS diminta melakukan itu (pertemuan).
Pertanyaannya kemudian, siapa yang bisa memerintah BS? Hanya ada 2 orang di republik ini, yakni: Megawati (Ketum PDIP) dan Jokowi (Presiden). Berdasar hasil croscek dari sebuah sumber bahkan dikatakan Jokowi dan Megawati itu sudah satu hati. Celakanya, saya sudah pula berjanji menuruti keinginan sumber agar info tersebut off the record. Intinya, perintah itu datang dari kedua orang tadi (Megawati-Jokowi)?
Sampai saat ini diyakini demikian. Meski BS kemudian akan dipanggil oleh DPP PDIP (komisi disiplin), itu hanya formalitas, atau pula DPP memang belum mengetahui misi tersebut. Saya hanya bisa mengatakan misi BS itu adalah sesuatu yang bakal mengejutkan publik (meski sudah saya pahami sebelumnya). Namun begitu, seperti watak jurnalis tadi, saya tidak boleh percaya begitu saja.
Fakta lain yang bisa melengkapi puzzle kunjungan BS tersebut adalah kejadian Ketum Projo, Budi Arie, yang awalnya menerima kunjungan pengurus Gerindra, lalu diangkat sebagai Menkominfo menggantikan posisi Johnny G. Plate yang tengah berperkara kasus BTS. Diikuti pula pengangkatan Wamen Kominfo menemani Budi, yakni Nezar Patria, sesama rekan aktivis BS sewaktu kuliah di UGM dulu.
Tidak berselang lama Jokowi pun menerima kunjungan Surya Paloh di istana. Runtutan peristiwa tersebut bisa dikatakan membuat heboh banyak orang. Bagi yang gak kuat mikir, ya tidak perlu terlalu dipikir, khawatir malah misuh-misuh dan stress sendiri. Pertanyaannya, tidak adakah kaitan antar peristiwa dalam waktu yang berdekatan dan berturut tersebut? Pasti ada. Sumber mengatakan, Jokowi dan Megawati tengah berburu waktu.
Tidak ada yang serba kebetulan dalam peristiwa politik. Semua bisa saling terkait. Lantas bagaimana posisi Ganjar sebagai bakal capres PDIP sendiri? Sepertinya bakal aman-aman saja dan memang tidak terlalu ditampilkan dalam hiruk pikuk panggung politik ini. Yang terlihat kerap dimunculkan justru Prabowo yang seolah akan vis a vis dengan kandidat dari koalisi Perubahan.
Namun hubungan SP selaku nahkoda dari kapal koalisi pun sepertinya sudah mulai cair kembali dengan Jokowi. Gerbong koalisi Perubahan secara diam-diam mulai terisi oleh kelompok yang selama ini memang sudah menjadi musuh lama pemerintah (Islam garis keras). Prabowo dianggap lebih mengenal dan mengerti kelompok-kelompok tersebut, termasuk bagaimana menjinakkannya. Sekali lagi, ini dunia politik yang tidak bisa hanya dilihat hitam-putih saja.