Jakarta, Salasa (2/5/2023) gemadikatv.com — Penganugerahan Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau biasa dipanggil JK itu begitu mengagumkan, pasalnya perjalanan karier politiknya hingga 50 tahun malang melintang di dunia politik dan pemerintahan tentu tak bisa diragukan, Beliau pernah melahirkan sejumlah gagasan bagi peningkatan produktivitas kerja pemerintah, yang mana melalui ungkapan kata “Lebih Cepat Lebih Baik” membuat banyak masyarakat terpukau, sehingga dalam pernyataan di acara penganugerahan Doktor Kehormatan itu dikatakannya, “Saya pun baru menyadari, bahwa ternyata slogan yang selalu saya ucapkan Lebih Cepat Lebih Baik adalah esensi produktivitas,” sebut JK dalam pidato sambutannya, Senin pada tanggal 13/1/20 lalu.
Kita boleh saja terhipnotis dengan kata itu, tapi tidak semua kecepatan itu diartikan sebagai buah kebijakan yang baik, sebab banyak hal yang sepatutnya dipertimbangkan, apalagi terkait jangka pendek dan jangka panjang dari berlakunya sikap demikian. Terlebih dalam mengambil keputusan atas munculnya sebuah kebijakan. Hal itu akan dikaitkan dengan dampak serta ekses akibat dari kebijakan itu sendiri, serta sekuat apa sebuah kebijakan itu akan bertahan. Faktor kehati-hatian memang cenderung dimaknai sebagai hal yang lambat, namun strategi ini dianggap sebagian orang sebagai cara mengurangi resiko, apalagi terhadap kerugian materil yang tentu saja menuntut pertanggung jawaban dari pengambil kebijakannya.
Kesukaan JK terhadap Anis Baswedan disinyalir memiliki kesamaan dengan cara dan pemikirannya dari pandainya merangkai kata-kata sebagaimana keahlian Anis Baswedan yang menjadikan JK seolah-olah menemukan penerus dan cara kerjanya. Dari kesamaan ini, wajar saja jika JK menyukai sosok Anis yang memiliki kesamaan sikap yang demikian. Dukungan JK pun mengalir disaat Anis mengikuti pilkada DKI Jakarta yang secara terang-terangan diakuinya. Walau dibalik itu terdapat bau busuk yang begitu menyengat dibalik politik identitas yang mereka mainkan, sehingga publik mencatatnya sebagai perhelatan demokrasi terburuk yang pernah terjadi dinegeri ini.
Namun berbeda dengan Ketua Umum PDI Perjuangan yang selalu mengandalkan strategi Last Minute yang membuat sebagian besar masyarakat menjadi kurang sabar. Apalagi dibalik hiruk pikuk tahun politik atas think-tank rumor di publik yang ramai diperbincangkan. Taktik Megawati yang demikian lebih kepada ramuan atas langkah politik yang di padukan dengan emosional masyarakat hingga menemui klimaks orgasme yang sempurna. Sehingga pelaku politik tidak mengalami ejakulasi pada pembukaan atau permainan di awal-awal fase pemanasannya. Hingga begitu ampuhnya strategi ini, membuat banyak pihak yang ingin meniru style Megawati dalam dominasi politiknya di tanah air yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Tak terkecuali SBY yang mencoba mengolah bola liar politik hingga mengalami offside berkali-kali atau bahkan berbalik mendapatkan kartu merah, dimana beliau tak mampu menjadi leader atas koalisi yang dibangun pasca turunnya beliau dari kekuasaannya. Bahkan kita masih mengingat bagaimana Abu Rizal Bakrie yang kala itu menjabat Ketua Umum Golkar yang nyaris menjadi penonton tatkala tahun 2014 ketika dengan terpaksa mengusung Prabowo – Hatta Rajasa, tanpa mampu mendudukkan dirinya selaku pemegang mandat partai untuk diusung sebagai Wapres koalisi, oleh karena kehabisan calon pengantin dan hanya mengambil posisi penjaga pelaminan atas pernikahan Prabowo dan Hatta Rajasa sebagai capres cawapresnya.
Pelajaran ini pun tampaknya akan terulang lagi dari surutnya bandar besar yang tidak bersedia mengucurkan modalnya guna membiayai pasangan capres 2024, atas ketergesa-gesaan Surya Paloh dalam mendeklarasikan Anis Baswedan sebagai Capres partai Nasdem, dimana koalisinya pun belum terbentuk hingga bertebarannya undangan pernikahan itu nyaris menjadi pelaminan yang kosong tanpa ada mempelai pengantinnya. Sebab cepatnya Nasdem memproklamirkan Capresnya membuat pinangan koalisi tidak memiliki alternatif lain kecuali hanya posisi wapres yang ditawarkannya ketika melakukan penjajakan negosiasi politiknya.
Tidak seperti Jokowi, walau terdapat kepentingan atas estafet kepemimpinan nasional dari pondasi pembangunan dan kelanjutan program-programnya yang perlu diamankan, sebab bukan tidak mungkin apa yang telah dicapai dari perjalanan programnya justru menjadi mangkrak, atau distop oleh pemimpin selanjutnya. Namun ungkapan kehati-hatian dan ajakan “Ojo Kesusu” kiranya selaras dengan prinsip Megawati dalam menggalang aksi politik dibalik dua nuansa hebat, antara animo masyarakat yang menginginkan Capres dan Cawapres Terbaik, dengan geliat partai mitra koalisi yang akan dirangkulnya. Sebab menjinakkan bola liar bukanlah perkara semudah membalikkan telapak tangan saja.
Mengapa strategi Last Minute ini begitu ampuh, oleh karena kematangannya dalam mengamati perkembangan sekaligus penyesuaian pada keseimbangan partai-partai selaku infrastruktur politik. Dimana antara Suprastruktur dan infrastruktur politik memiliki keterkaitan dan keterikatan satu sama lain. Suprastruktur politik akan mampu mempengaruhi segala hal dalam infrastruktur politik demi tercapainya tujuan politik itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, infrastruktur politik pun mampu mempengaruhi berjalannya suprastruktur melalui mekanisme orang-orang yang duduk di pemerintah atau legislatif yang dimilikinya. Maka disanalah Megawati menampakkan kedewasaan berpolitiknya.